KPPU Selidiki Dugaan Monopoli Google dan Anak Usahanya di Indonesia
Jakarta, Jatengaja.com – Dinilai ada kejanggalan kuasai 93% pangsa pasar di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaraan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat yang dilakukan Google dan anak usahanya.
Google diduga telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia. Penyelidikan ini merupakan tindak lanjut dari penelitian intensif yang telah dilakukan sebelumnya.
"Proses penyelidikan akan dilakukan selama 60 (enam puluh) hari kerja ke depan, guna memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran Undang-Undang,” tulis KPPU dalam keterangan resmi, dikutip Jumat 16 September 2022 dilansir dari trenasia.com jaringan Jatengaja.com.
- Jasa Raharja Sebut 10 Titik Rawan Kecelakaan di Jateng, Berikut Lokasinya
- Dukung Santri Kembangkan Potensi, SIG Kick off Program Bakti BUMN
- Ratusan Kepala Sekolah Islam Terpadu Jawa Tengah Ikuti Training Sukses PPDB
- 727.465 Pekerja di Jateng Terima Bantuan Subsidi Upah Rp 600 Ribu
- BPR Arto Moro Optimistis Fungsi Intermediasi Perbankan Berjalan Semakin Baik
KPPU sebelumnya telah meneliti kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu. GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store.
Atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan/fee kepada aplikasi sebesar 15-30% dari pembelian yang berlaku sejak 1 Juni 2022.
Selain itu, KPPU juga menemukan bahwa Google Play Store menguasai sekitar 93% pangsa pasar aplikasi di Indonesia. Selebihnya, platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi adalah Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery.
KPPU juga menemukan bahwa Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store. Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut.
Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya. Kewajiban ini ditemukan KPPU sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15-30 % dari harga konten digital yang dijual.
Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5%. Selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.
Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu dengan mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran).
Serta ditemukan untuk pembelian di aplikasi, Google hanya bekerjasama dengan salah satu penyedia payment gateway/system, sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut. Berbeda dengan yang perlakuan ditujukan bagi digital content provider global, di mana Google membuka provider untuk kerja sama dengan payment system alternatif.
“Dengan demikian berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan pemerintah Indonesia,” terang KPPU.
- Menjajikan Keutungan, Bisnis Penyewaan Jasa Angkutan Mobil Pikap Mulai Marak
- Openair Semarang Hadirkan Area Patio Tempat Nongkrong Anak Muda yang Instragramble
- Buruan Daftar, Dibuka Program Beasiswa Indonesa Bangkit untuk S1 dan Pascasarjana
Dalam proses penelitian, KPPU telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak dan dapat menyimpulkan bahwa, kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital.
KPPU menduga Google telah melakukan berbagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat (tying in), dan praktik diskriminatif.
Oleh karenanya, berdasarkan Rapat Komisi pada tanggal 14 September 2022, KPPU memutuskan untuk melanjutkan penelitian tersebut dalam bentuk penyelidikan dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 16 Sep 2022