Waduh, Indonesia Juara 2 Pengangguran se-ASEAN
Jakarta, Jatengaja.com - Tingkat pengangguran Indonesia diproyeksikan akan meningkat menjadi 5% pada tahun 2025, naik dari 4,9% pada 2024.
Proyeksi yang dilakukan Dana Moneter Internasional (IMF) tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di kawasan Asia, setelah Filipina. Data ini tercantum dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis pada April 2025.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pemerintah menganggap proyeksi IMF sebagai masukan penting. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah tetap akan merujuk pada data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan.
“Analisis dari lembaga-lembaga seperti IMF tentu jadi masukan yang sangat penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi, untuk menjaga supaya kita tetap baik ekonominya,” ujar Hasan, dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Selasa, 4 Juni 2025.
- Gubernur Jateng Serahkan 3.947 Surat Keputusan Pengangkatan CANS dan PPPK Tahun 2024
- Penurunan Harga Bawang Merah dan Cabai Picu Jateng Alami Deflasi 0,49 Persen pada Mei 2025
- Jelang Puncak Haji, Sebanyak 203.152 Calon Haji Indonesia Mulai Hari Ini Bergerak ke Arafah
Berdasarkan data BPS per Februari 2025, kondisi ketenagakerjaan Indonesia justru menunjukkan perbaikan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat 4,76%, lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yang berada di angka 4,82%. Selain itu, tingkat setengah penganggur menurun dari 8,52% menjadi 8%, sedangkan proporsi pekerja penuh waktu meningkat dari 65,60% menjadi 66,19%.
“Jadi, ada indikator-indikator yang menunjukkan bahwa memang terjadi pemutusan hubungan kerja, tetapi penciptaan lapangan kerja baru juga terjadi, dan itu lebih banyak,” tambah Hasan.
Anak Muda Dominasi Pengangguran RI
Salah satu faktor yang mendorong meningkatnya tekanan terhadap pasar tenaga kerja di Indonesia adalah bertambahnya jumlah angkatan kerja baru, terutama dari kalangan muda lulusan SMA, pendidikan vokasi, dan perguruan tinggi.
Lonjakan ini menjadi tantangan serius ketika lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMA menjadi penyumbang tertinggi terhadap angka pengangguran, yakni sebesar 28,01%.
Sementara itu, tingkat pengangguran terendah justru ditemukan pada lulusan Diploma I/II/III, yang hanya sebesar 2,44%. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa jenjang pendidikan yang lebih terapan dan spesifik seperti diploma lebih relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini dibandingkan jenjang yang lebih umum seperti SMA.
Jumlah angkatan kerja di Indonesia berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025 mencapai 990.634 orang, naik 41.550 orang dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Kenaikan ini turut disertai dengan meningkatnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 1,81 persen poin. Peningkatan TPAK ini bisa dibaca sebagai sinyal positif karena menandakan lebih banyak orang yang bersedia dan mampu bekerja, namun di sisi lain juga menunjukkan potensi masalah baru jika pertumbuhan lapangan kerja tidak cukup cepat untuk menyerap tenaga kerja tersebut.
- Kunjungi Warga Terdampak Rob Pemalang, Ahmad Luthfi Serahkan Bantuan Senilai Rp232,18 Juta
- Tingkatkan Pendapat Asli Daerah, 33 BPR BKK se-Jateng Bakal Dimarger Jadi Bank Syariah
- Berkah Kunjungan Presiden Prancis, Ditandangani 21 Dokumen Kerja Sama dengan Indonesia
Hal ini menjadi semakin krusial jika dikaitkan dengan dominasi lulusan muda dalam komposisi angkatan kerja baru, yang pada umumnya masih minim pengalaman dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Perlu juga dicermati bahwa perbedaan definisi antara lembaga internasional dan nasional dalam mengklasifikasikan pengangguran turut memengaruhi interpretasi data.
Dana Moneter Internasional (IMF) menggunakan definisi yang lebih sempit, yakni hanya memasukkan individu yang tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan.
Sementara itu, BPS mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dengan mencakup pencari kerja aktif, mereka yang tengah mempersiapkan usaha, hingga kelompok yang telah menyerah untuk mencari pekerjaan atau dikenal sebagai discouraged workers.
Perbedaan ini bisa menimbulkan perbedaan pandangan terhadap kondisi riil pasar tenaga kerja di Indonesia, baik dari sisi domestik maupun internasional.
Meskipun menghadapi proyeksi yang kurang menggembirakan dari IMF, pemerintah Indonesia tetap menunjukkan sikap optimistis dalam menangani tantangan ketenagakerjaan. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 04 Jun 2025