Peringati Hari Perempuan Dunia 2025, Komunitas EMPU dan Masyarakat Akan Gelar Peragaan Busana di Desa Tenggelam
Semarang, Jatengaja.com - Komunitas Fesyen Berkelanjutan EMPU akan menggelar peragaan busana ramah lingkungan di desa tenggelam, Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
Kegiatan peragaan busana yang akan digelar Sabtu 15 MAret 2021 pukul 08 WIB-10 WIB hasil kerja sama Komunitas EMU dengan kelompok nelayan perempuan yang tergabung dalam organisasi Puspita Bahari, Barapuan, YLBHI-LBH Semarang, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) serta didukung PPNI dan LBH APIK.
Koordinator Komunitas EMPU/The Soeratman Foundation, Leya Cattleya Soeratman menyatakan, peragaan busana ramah lingkungan ini bertajuk ‘Gerak Budaya dan Karya Ramah Lingkungan untuk Masa Depan Warga Pesisir menghadapi Krisis Iklim.
- Transaksi Lebaran Tetap Lancar! BRI Siapkan Rp32,8 Triliun untuk Pastikan Uang Tunai Tersedia
- BRI Kembali Kucurkan Rp27,72 Triliun KUR, UMKM Semakin Kuat
- Sekjen DPR Indra Iskandar Jadi Tersangka Korupsi, Begini Rekam Jejaknya
- Kemenhub Tetap Gelar Mudik Lebaran Gratis 2025 di Tengah Pemangkasan Anggaran, Sediakan Kuota 86.312 Kursi
- RSUD dr Moewardi Solo Sukses Lakukan Operasi Ginekologi Pertama Kali Gunakan Metode Microwave Ablation
“Ini dalam rangka untuk merekognisi upaya dan daya resiliensi warga nelayan pesisir di Desa Timbulsloko dalam melakukan adaptasi krisis iklim dan merayakan Hari Perempuan Dunia 2025,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (10/3/2025).
Lebih lanjut Leya, menyatakan peragaan busana akan menampilkan 20 karya Komunitas EMPU dan karya fesyen ramah lingkungan dari masyarakat pesisir Omah Petruk.
“Fesyen yang ramah lingkungan mewakili harapan warga Timbulsloko akan kehidupan yang lebih baik dan upaya bersama untuk memitigasi krisis iklim,” ujarnya.
Peragaan busana ini melibatkan karya artisan dari jejaring Empu yang dihasilkan dari tekstil serat alam yang menggunakan pewarna alam antara lain, Patanning.co (Sumba Timur), Zie Batik (Semarang), Moncer Art (Sragen), Mlati Wangi, Semarang, Rhabag Semarang.
Selain itu juga YC Aurart (Jakarta), Lucy Chan, Swarna Bumi Ecoprint, Nganjuk, Susi Shibori, Sora Shibori, dan karya artisan Omah Petruk, Jepara, serta Collabox Creative Hub.
Selain peragaan busana, acara akan diikuti tarian perempuan pesisir. Model yang akan melenggok di atas ‘catwalk’ adalah ibu-ibu nelayan dan petani, pegiat organisasi perempuan, dan model dari kalangan profesional dari jejaring Komunitas EMPU.
Peragaan busana ini merupakan suatu gerak seni budaya untuk mengajak semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil serta warga untuk melakukan refleksi dan membangun komitmen bersama untuk memitigasi dampak krisis iklim dengan bijak, dan melakukan upaya-upaya konkrit, bermakna dan ramah lingkungan agar warga bumi, khususnya di wilayah pesisir memiliki harapan dan masa depan yang lebih baik.
Sekilas Desa Timbulsloko
Mengenai dipilihnya Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung Kabupaten Demak karena ada sejarah. Di tahun 1970 an, desa ini makmur, warga tak pernah alami krisis pangan.
Kehidupan warga berubah, setelah tahun 2019, air laut mengepung perkampungan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari awal garis pantai dan membuat tinggi air selutut.
Pada tahun 2025 tinggi air ketika surut mendekati batas perut orang dewasa. Ketika air rob tinggi, jalan yang dulu bisa dilalui kendaraan roda empat, kini hanya bisa dilalui sampan. Musala hingga pemakaman pun dikepung air.
Data penduduk Dukuh Timbulsloko yang dicatat Mongabay.co.id pada tahun 2019 adalah berjumlah 3.710 jiwa, dengan warga yang telah beralih profesi dari petani menjadi nelayan dan buruh pabrik.
Di tahun 2025, jumlah penduduk yang bertahan adalah berkisar 200 orang yang terdiri dari sekitar 80an Kepala Keluarga.
- Perbankan Nasional Catat Pertumbuhan Positif
- Bayar THR Lebaran PNS Tahun 2025, Pemerintah Rogoh Uang Rp50 Triliun
- Bayar Klaim JHT Bagi 8.371 Eks Pekerja PT Sritex, BPJS Ketenagakerjaan Siapkan Rp129 Miliar
Warga yang bertahan di Timbulsloko memiliki daya lenting luar biasa. Meskipun dengan pendapatan terbatas, warga memprioritaskan uangnya untuk membangun mimpi hidup yang lebih baik.
Dengan sumber daya yang ada, dan modal solidaritas warga mulai membangun adaptasi krisis iklim versi rakyat. Mereka membuat jalan panggung dengan penyangga bambu dan geladak dari limbah kayu Bengkirai.
Rumah-rumah dan masjid yang telah tenggelam dijadikan lantai geladak, supaya biaya peninggian lebih murah dan mudah.
Warga bertahan bukan karena mereka tidak mau meninggalkan tempat kediamannya. Mereka bertahan karena tak punya pilihan. Opsi-opsi yang ditawarkan pemerintah dirasakan kurang kondusif dan tidak menjawab kebutuhan warga. (-)