Industri Nikel China Rugikan Lingkungan RI
Jakarta, Jatengaja.com - Sebuah kelompok non-pemerintah dalam sebuah laporan menjelaskan, aktivitas penambangan di kawasan industri nikel yang sebagian besar terkait dengan perusahaan China telah berkontribusi terhadap deforestasi massal di Indonesia.
Laporan tersebut mengungkapkan dampak ekologis terbaru dalam industri nikel, seiring upaya Indonesia, yang memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia, untuk mendapatkan nilai lebih dari mineral tersebut dengan menarik investasi pada pengolahan dan pembuatan baterai kendaraan listrik.
Negara ini juga telah menetapkan target produksi sekitar 600.000 kendaraan listrik (EV) pada tahun 2030—lebih dari 100 kali lipat jumlah kendaraan listrik yang terjual di Indonesia pada paruh pertama tahun 2023.
- Polda Jateng Bakal Tindakan Tegas Pengguna Knalpot Brong Saat Kampanye Terbuka Pemilu
- Ini Syarat untuk Minta Keringanan Pajak Hiburan
- Presiden Jokowi Bakal Gelar Upacara Peringatan HUT Kemerdekaan RI Tahun 2024 di IKN
Dalam laporan yang dirilis pada Rabu, Climate Rights International (CRI) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) mendokumentasikan aktivitas di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), salah satu pusat pemrosesan nikel terbesar di negara itu, yang investornya termasuk Tsingshan Holding Group China dan Eramet Prancis (ERMT.PA).
Pengelola taman tersebut, yang berlokasi di Pulau Halmahera, wilayah Maluku, merupakan usaha patungan antara Zhejiang Huayou Cobalt (603799.SS) dari China, Zhenshi Holding Group, dan Tsingshan.
IWIP, Tsingshan, Eramet, Huayou, Zhenshi, dan kementerian kehutanan tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan komentar dari Reuters.
Menurut laporan dari CRI, perusahaan-perusahaan yang memiliki izin telah menebang lebih dari 5.300 hektar hutan tropis dalam konsesi taman sejak tahun 2018. Laporan ini merujuk pada analisis geospasial citra satelit yang dilakukan oleh kelompok tersebut dan peneliti di University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
Jumlah tersebut kurang lebih setara dengan ukuran lebih dari 6.000 lapangan sepak bola. Para ahli telah menyuarakan kekhawatiran bahwa industri nikel dapat memperburuk deforestasi di Indonesia, sebuah negara kaya sumber daya yang juga menjadi rumah bagi hutan hujan yang sangat lebat.
Dilansir dari Reuters, pada Kamis, 18 Januari 2024, setelah bertahun-tahun mengalami deforestasi yang merajalela, Indonesia telah berhasil memperlambat laju pembukaan hutan untuk perkebunan dan kegiatan industri lainnya.
Menunjukkan data dari kelompok penelitian World Resources Institute, dari tahun 2020 hingga 2022, Indonesia berhasil mengurangi kehilangan hutan utama rata-ratanya sebesar 64% dibandingkan dengan periode 2015-2017.
- Baznas Jateng Serahkan Bantuan Usaha Produktif kepada 3.000 Mustahiq di Lima Kabupaten
- Telkom Kembangkan Next-Generation Digital Connectivity
- Terobosan Dinkop UKM Jateng, Buka Kantor LBH Gratis untuk Pelaku Usaha Kecil dan Menengah
CRI juga memperkirakan emisi karbon dioksida dari deforestasi sekitar setara dengan emisi tahunan dari 450.000 mobil.
Presiden Joko Widodo mengatakan kepada Reuters tahun lalu bahwa Indonesia akan meningkatkan pengawasan terhadap para penambang dan akan memerintahkan perusahaan untuk mengelola kebun bibit dan melakukan reboisasi di tambang-tambang yang sudah terdegradasi. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 18 Jan 2024