Dengan Tantangan Geografis, Tarif Internet Indonesia Masuk Kategori Terjangkau
Jakarta, Jatengaja.com – Saat membuka event Indonesia Fintech Summit 2021 hari ke-2, Minggu (12/12) lalu, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengeluhkan mahalnya biaya internet di Indonesia.
Menurut Luhut, akibat mahalnya, internet hanya bisa dinikmati orang-orang mampu. Mahalnya tarif itu dinilai menjadi salah satu penghambat perkembangan ekonomi digital.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sarwoto Atmosutarno menuturkan, dari perbandingan yang dilakukan pihaknya, tarif internet di Indonesia termasuk dalam kategori terjangkau.
“Di tengah stagnasi pertumbuhan pendapatan yang dihadapi oleh penyedia, Indonesia memiliki tarif rata-rata terendah untuk MBB berbasis volume sebesar USD 0,31/GB pada tahun 2020 (lebih mahal dari India USD 0,11, tetapi lebih murah dari Malaysia USD 0,56 dan Brasil USD 1,16). Tarif MBB Indonesia ini mengalami penurunan dari USD 0,43/GB pada data tahun 2019 dari McKinsey,” tutur Sarwoto dalam siaran persnya, Rabu (23/12/2021).
- Pertamina Patra Niaga Teken Kontrak Pengadaan BBM Polda Jateng dan Polda DIY Senilai Rp139 Miliar
- Peugeot 308 Tembus Finalis Car Of The Year (COTY) 2022
- Pameran Batik dan Pemberian Santunan Semarakkan Peringatan Hari Ibu di Kabupaten Semarang
Dikatakan, untuk Fix Broadband (FBB) yang didominasi Indihome, pihaknya menggunakan dua acuan ukuran. Pertama, Indonesia menempati posisi termahal di ASEAN dengan tarif per Mbps antara Rp 14.895 – Rp 43.500 pada 2019 (data CupoNation).
Kedua, dengan tarif bulanan sebesar USD 29,01 untuk tarif FBB, Indonesia menempati peringkat 53 termurah dari 211 negara (disurvei oleh cable.co.uk). Setiap perspektif dapat dipergunakan tergantung pada kepentingan analisis masing-masing konsumen.
Namun, Mastel melihat ada upaya yang telah dilakukan para penyelenggara, yang sebagian besar merupakan anggota Mastel untuk terus menurunkan tarif sesuai tingkat keekonomian.
Tantangan Geografis
Menurutnya, prestasi kompetisi tarif Indonesia dicapai, selain tantangan kondisi geografis yang berat dan dalam environment perhitungan Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (Ebitda) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi, bisnis infrastruktur bandwidth yang stagnan, persaingan tarif Indonesia dicapai.
Bahkan pertumbuhan pendapatan bisnis infrastruktur telekomunikasi mengalami penurunan sebesar 2%-3% selama tiga tahun terakhir. Kecenderungan selisih Return on Investment Capital (ROIC) dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC) menurun dan tinggal sebesar 1-2%.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mendorong peningkatan kesehatan dan kesinambungan industri bagi para operator internet dengan mempercepat regulasi konsolidasi operator telekomunikasi, infrastructure sharing, area kolaborasi di antara operator jaringan dan provider OTT (Over the Top), serta mengurangi beban retribusi untuk penyelenggaraan dan penggelaran jaringan (biaya regulasi).
“Tidak dapat disangkal, negara semakin bergantung pada layanan internet yang diserahkan kepada mekanisme pasar di mana pilihannya bergantung pada kebutuhan konsumen,” kata Sarwoto.
Sarwoto menjelaskan, Pemerintah Indonesia sejak 1995 telah menyerahkan industri telekomunikasi yang kemudian berkembang menjadi industri internet kepada mekanisme pasar. Menyerahkan pasokan internet kepada multioperator para penyelenggara jasa dan/atau jaringan internet yang jumlahnya lebih dari 100 penyelenggara besar dan kecil.
- Antisipasi Lonjakan Trafik Liburan, Telkomsel Optimalisasi Jaringan
- Dua Rumah Terbakar, Fraksi PKS Salatiga Beri Bantuan
- PGN Terima 7 Penghargaan BUMN Branding and Marketing Award 2021
Investasi Mahal
Dengan demikian, pemerintah sudah tidak pernah berinvestasi lagi di bidang penyelenggaraan telekomunikasi dan internet selama lebih dari 25 tahun. Pemerintah diharapkan berperan dalam mendukung kesehatan industri ini melalui regulasi yang mengatur keseimbangan tingkat pengembalian investasi, kualitas layanan dan perlindungan konsumen.
“Investasi pada penyelenggaraan jasa dan jaringan internet di Indonesia relatif lebih mahal untuk sifat teknologi yang cepat usang (obsolete),” katanya.
Internet sangat penting untuk mempercepat transformasi digital dan ekonomi digital. Sarwoto mengatakan, demografi Indonesia memiliki lebih dari 270 juta penduduk dan 17.100 pulau dari aspek geografis.
Panjang dari Timur ke Barat adalah 5.120 km dan dari Utara ke Selatan adalah 1.760 km, di mana 3,1 juta km persegi adalah air, terbagi menjadi 514 kabupaten dan kota, membutuhkan akses internet untuk mempercepat transformasi digital dan ekonomi digital.
Dari catatan Mastel, investasi yang ditanamkan operator cukup besar. Pada tahun 2020 telah dibangun 169.833 KM Fiber Optic, 133 Transponder Satelit, 117 Internet Points of Presence (POP), dan 26 Data Center yang dibangun.
Pertumbuhan investasi secara umum rata-rata meningkat 4% per tahun. Investasi ini juga membuat adopsi digital Indonesia meningkat sebesar 32%, tumbuh dua kali lipat sebelum pandemi. Investasi ini mendukung layanan MBB dan FBB atau konvergensinya.
Meski dari segi stabilitas yang kurang karena faktor blank spot, pasar MBB di Indonesia mendominasi dengan pendapatan di tahun 2020 sebesar Rp 117 T, sementara FBB sebesar Rp 29 T.
“Kita mengapresiasi kehadiran negara untuk percepatan internet di pedesaan dan terpencil serta Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang sangat membutuhkan bandwidth internet tanpa gangguan dan aman. Disamping itu, internet juga diperlukan untuk pelayanan penanggulangan bencana dan pertahanan dan keamanan nasional,.” Tutur Sarwoto. (-)