ICW Nilai Pemberantasan Korupsi Era Pemerintahan Presiden Jokowi Jalan Ditempat
Jakarta, Jatengaja.com - Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. Janji pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti.
Alih-alih meningkat signifikan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38.
Hal ini setidaknya menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia selama dua periode masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjalan di tempat.
- Dulu Dilayani Singapura, Kini Navigasi Penerbangan di Kepri dan Natuna Diambil Alih Indonesia
- Nuthuk Tarif, Lima Jukir Lawang Sewu Diminta Membuat Surat Pernyataan
- 10 Jabatan Kosong, Pemkot Semarang Gelar Lelang Jabatan
Demikian disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rilis kepada media, Rabu (26/1).
Menurut ICW arah politik hukum pemberantasan korupsi semakin mengalami kemunduran, karena ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi.
Selama ini pemerintah hanya disibukkan dengan pembenahan sektor ekonomi dengan memproduksi beragam proyek infrastruktur dan penguatan investasi.
Akibat kekeliruan arah itu, mayoritas kalangan pebisnis mengambil untung di tengah stagnasinya situasi penegakan hukum.
Peningkatan IPK Indonesia tahun ini tentu harus dibenturkan dengan realita pemberantasan korupsi terkini.
Secara kasat mata, tahun 2021 sebenarnya masih menjadi periode implikasi atas akumulasi kekeliruan pemerintah ketika mengubah haluan pemberantasan korupsi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan.
Ini dapat dibuktikan dengan masifnya kritik masyarakat terhadap kinerja lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Tidak hanya itu, bahkan pada awal Januari lalu Indikator Politik Indonesia menguatkan kesimpulan tersebut dengan menemukan adanya persepsi buruk dari sebagian besar masyarakat terhadap komitmen antikorupsi pemerintah.
KPK Hanya Gaduh
Meningkatnya poin IPK dan peringkat Indonesia semestinya dimaknai sebagai bahan evaluasi mendasar untuk mengembalikan pemberantasan korupsi ke arah yang benar, bukan justru mengglorifikasikannya.
Merujuk pada sejumlah dokumen janji politik yang digaungkan Jokowi saat mengikuti kontestasi pilpres 2014 dan 2019 yang menarasi penguatan pemberantasan korupsi terbilang baik dan menawarkan harapan.
Sayangnya, keinginan untuk mengubah citra pemberantasan korupsi hanya berhenti pada tumpukan berkas janji kampanye tanpa adanya implementasi yang konkret.
Ditambah lagi dengan ketidakmampuan Presiden untuk memimpin orkestrasi penegakan hukum menggunakan kewenangan dan struktur sumber daya politik yang dimilikinya selama ini.
Mirisnya, Presiden justru menjadi salah satu dalang di balik ambruknya pemberantasan korupsi dalam wakatu waktu terakhir.
Keterkaitannya dengan rendahnya kenaikan IPK Indonesia, menurut ICW ada sejumlah isu yang bisa dicermati. Pertama, pemerintah hanya disibukkan dengan agenda pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi.
Bukan tanpa dasar, cerminan kebijakan pemindahan ibukota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law dapat dijadikan rujukan utama. Sayangnya, pemerintah terlewat bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi.
Kedua, agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Presiden yang bisa mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya, tidak jalan.
Berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan.
Selain itu, khusus terkait KPK, sepanjang 2021 yang tampak hanya kegaduhan tanpa mampu menunjukkan prestasi sebagaimana lazim terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Ketiga, permasalahan grand corruption yang tak kunjung tuntas. Tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus grand corruption atau korupsi berskala besar. Kasus-kasus besar seperti reklamasi Jakarta, KTP elektronik, surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), dan sederet kasus lainnya berhenti hanya pada sedikit tersangka atau terpidana.
Padahal kasus tersebut berpotensi melibatkan aktor-aktor besar. Kondisi yang dibentuk hari-hari ini bahkan membuka ruang praktik grand corruption untuk semakin marak terjadi.
Pelemahan KPK lewat revisi UU membuat aktor-aktor yang membajak proyek negara sulit disentuh secara hukum. Ini diperparah dengan kehadiran UU Minerba serta UU Cipta Kerja yang menjamin pebisnis untuk mendapat keuntungan dengan mengeruk sumber daya alam.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah grand corruption pada akhirnya hanya menguntungkan sedikit orang dengan cara merugikan orang banyak.
Keempat, menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena adanya ancaman yang masih banyak diterima warga negara ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara.
Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari pelaporan menggunakan delik pencemaran nama baik, peretasan, hingga kekerasan fisik.
Untuk mendorong perbaikan dalam keseluruhan kebijakan pemberantasan korupsi, maka ICW mendesak agar:
1. Presiden beserta seluruh jajarannya mengedepankan pembenahan sektor penegakan hukum melalui perubahan sejumlah regulasi, diantaranya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2. Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk fokus pada tugas utama pemberantasan korupsi dan menghilangkan setiap kegaduhan yang berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat;
3. Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar (grand corruption) dan mempersempit ruang terjadinya praktik tersebut;
4. Presiden menghentikan upaya pemberangusan partisipasi warga negara yang bergerak dalam isu antikorupsi. (-)