Bank Sentral Ramai-Ramai Tinggalkan Dolar

Sulistya - Rabu, 26 April 2023 10:11 WIB

Karyawati menunjukkan mata uang Dolar Amerika dan Rupiah di salah satu teller bank, di Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

undefined

WASHINGTON - Sejumlah bank sentral dunia mulai berpaling dari menyimpan dolar menjadi penyimpanan emas. Akibatnya, diprediksi dominasi dolar sebagai alat tukar transaksi dunia akan mulai melemah.

Mengutip Insider, Rabu (26/4/2023), tren penyimpanan emas melonjak sekitar 20% dalam setengah tahun terakhir. Mengutip tulisan dari Direktur Rockefeller Internasional, Ruchir Sharma mengatakan permintaan tersebut sebagian besar datang dari bank sentral yang mengurangi kepemilikan dolar. Menurut Sharma, ini bukanlah kasus biasa.

Ia menambahkan dalam tulisannya, seperti dikutip dari www.trenasia.com, bank sentral menyumbang rekor 33% dari permintaan global bulanan untuk emas. Mereka juga membeli lebih banyak emas daripada kapan pun sejak data dimulai pada tahun 1950.

"Ledakan pembelian ini telah membantu mendorong harga emas ke level mendekati rekor dan lebih dari 50 persen lebih tinggi dari apa yang disarankan oleh model berdasarkan suku bunga riil. Jelas, sesuatu yang baru mendorong harga emas," ujar Sharma.

Sharma menambahkan, ada setidaknya 9 dari 10 bank sentral teratas yang membeli emas berada di negara berkembang. Negara tersebut termasuk termasuk China, Rusia, dan India.

Sebagaimana diketahui, ketiga negara tersebut yang disebutkan Sharma tergabung dalam upaya membentuk poros ekonomi baru yakni BRICS bersama Brasil dan Afrika Selatan. Lewat upaya kerja sama negara tersebut, lima negara yang tergabung berupaya menciptakan mata uang baru yang terpisah dari dolar.

"Dengan demikian aset tertua dan paling tradisional, emas, sekarang menjadi kendaraan pemberontakan bank sentral terhadap dolar," ujar Sharma.

"Sering kali di masa lalu baik dolar dan emas dilihat sebagai surga, tetapi sekarang emas dipandang jauh lebih aman. Selama krisis perbankan singkat di bulan Maret, emas terus naik sementara dolar turun. Perbedaan pergerakan keduanya tidak pernah sebesar ini," tambahnya.

Sanksi Keuangan

Sharma mengatakan bahwa beralihnya penyimpanan sejumlah negara dari bentuk dolar ke emas ada kaitannya dengan penggunaan sanksi keuangan oleh AS dan sekutunya. Seperti diketahui, Sharma menunjukkan bahwa 30% negara dunia saat ini tengah menghadapi sanksi dari AS, Uni Eropa, Jepang, dan Inggris. Menurut Sharma, angka tersebut naik dari 10% pada 1990-an.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, semenjak Rusia melakukan invasi ke Ukraina, Barat membekukan aset mata uang negara itu dan mengeluarkannya dari sistem SWIFT. Menurut Sharma, inilah yang menyebabkan sejumlah negara berpikir siapapun bisa menjadi target.

Menghadapi persenjataan dolar, bahkan sekutu AS seperti Thailand dan Filipina mulai mencari mata uang alternatif. Salah satunya Yuan China yang telah meningkatkan jangkauan internasionalnya.

"Risiko bagi Amerika adalah kepercayaannya yang berlebihan tumbuh, disuapi oleh cerita bahwa mata uang mereka tak tergantikan. Narasi itu bertumpu pada kepercayaan global pada institusi dan supremasi hukum AS. Tetapi inilah tepatnya yang telah merusak dolar dengan mempersenjatai dolar," tulis Sharma.

"Itu juga bertumpu pada kepercayaan pada kemampuan negara untuk membayar utangnya, tetapi itu juga merosot, karena ketergantungannya pada pendanaan asing terus meningkat," ujarnya. (-)

Editor: Sulistya
Bagikan

RELATED NEWS