Audit BPK Temukan Subsidi LPG 3 kg dan BBM Solar Senilai Rp37 Triliun Diduga Salah Sasaran

SetyoNt - Kamis, 18 Desember 2025 23:05 WIB
Nampak penjual tengah merapikan susunan tabung gas LPG 3Kg di sebuah agen gas kawasan Cipondoh Kota Tangerang.Kamis 5 Januari 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Jatengaja.com - Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan fakta penyaluran subsidi LPG 3 kg sepanjang tahun 2024 diduga salah sasaran nilanya hingga mencapai Rp33,84 triliun. Lebih dari satu miliar tabung dinikmati kelompok non penerima manfaat.

Hal ini terjadi karena kriteria penerima subsidi LPG 3 kg tak ditegakkan secara tegas, sehingga tidak tepat sasaran, karena siapa pun baik orang miskin atau kaya bisa membeli gas melon melalui jalur resmi.

Tidak hanya subsidi LPG 3 Kg, BPK juga menemukan kebocoran penyaluran BBM yakni penjualan melebihi kuota, distribusi ke kendaraan yang tidak berhak, serta indikasi aliran ke sektor industri besar seperti pertambangan dan sawit.

Potensi subsidi solar yang salah sasaran diperkirakan melebihi Rp4 triliun, belum termasuk indikasi kerugian negara dari aspek penetapan harga dan tata niaga. Dampaknya berlapis, potensi salah sasaran triliunan rupiah dan indikasi kerugian negara.

Masalahnya bukan hanya siapa yang membeli, melainkan mengapa sistem membiarkannya terjadi. Basis data penerima tidak terintegrasi, pengawasan di SPBU dan pangkalan belum konsisten, serta penegakan hukum kerap tertinggal dari kecanggihan praktik penyimpangan.

Dana publik yang seharusnya dipakai untuk memperkuat fondasi masa depan generasai muda tersebut justru habis untuk menopang kebutuha konsumsi kelompok yang tidak berhak.

Bayangkan jika Rp33,84 triliun subsidi LPG dan 4 triliun subsidi solar yang meleset sasaran itu dialihkan ke program-program strategis. Dengan asumsi biaya Rp20 juta per mahasiswa per tahun, dana tersebut setara dengan sekitar 2 juta beasiswa pendidikan, yang dapat membuka akses kuliah bagi jutaan anak muda dari keluarga berpenghasilan rendah.

Di sektor mobilitas, jumlah yang sama dapat membiayai pembangunan ratusan kilometer jalur transportasi umum berkelanjutan seperti LRT atau BRT, mengurangi kemacetan, menekan emisi, dan membuat kota lebih ramah bagi generasi muda.

Sementara di sektor energi, alokasi tersebut berpotensi menghadirkan ribuan megawatt pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), mempercepat transisi energi sekaligus menciptakan green jobs yang semakin relevan bagi Gen Z.

Ketika subsidi justru dinikmati oleh rumah tangga mampu dan industri besar, generasi muda kehilangan kesempatan atas pendidikan yang lebih terjangkau, kota yang lebih layak huni, dan udara yang lebih bersih.

Lebih dari itu, persoalan ini menyentuh inti keadilan sosial, tidak adil jika keluarga berpenghasilan rendah yang seharusnya dilindungi malah ikut membiayai konsumsi energi mereka yang memiliki banyak kendaraan atau skala usaha besar.

Kisah gas melon dan solar bukan hanya cerita dapur. Ia terhubung dengan rantai pasok nasional dan kepentingan ekonomi besar. Di lapangan, praktik seperti pengoplosan, injeksi LPG, hingga pemanfaatan solar bersubsidi oleh industri mencerminkan celah pengawasan.

Upaya digitalisasi, mulai dari QR code hingga aplikasi belum sepenuhnya menutup celah. Sistem sering kali tidak sinkron dengan data kendaraan dan kependudukan. Tanpa integrasi lintas lembaga, teknologi justru menjadi tameng administratif alih-alih alat penertiban.

BPK telah merekomendasikan solusi, penetapan kebijakan berbasis data penerima yang jelas dan terintegrasi, serta penguatan pengawasan distribusi.

Ombudsman RI mendorong perbaikan prosedur dan keselamatan distribusi. Sejumlah pemerintah daerah meminta Pertamina memperketat pengawasan dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum.tantangan struktural masih membayangi upaya perbaikan subsidi energi.

Pertanyaan "Gas melon untuk siapa?" adalah pertanyaan etika. Apakah subsidi akan terus menjadi kenyamanan bagi yang mampu, atau benar-benar menjadi jaring pengaman bagi yang rentan?

Bagi Gen Z, isu ini sejalan dengan nilai yang kerap mereka perjuangkan, keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Subsidi yang tepat sasaran bukan hanya soal menghemat anggaran, tetapi tentang memilih masa depan apakah dana publik dipakai untuk menambal kebocoran hari ini atau membangun fondasi esok hari.

Reformasi subsidi energi adalah ujian keberpihakan negara. Selama data tidak terintegrasi, pengawasan longgar, dan penegakan hukum setengah hati, kebocoran akan terus berulang. Dan yang membayar mahal secara diam-diam adalah generasi muda. (-)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 18 Dec 2025

Editor: SetyoNt

RELATED NEWS