transportasi
Kamis, 30 Oktober 2025 09:34 WIB
Penulis:SetyoNt
Editor:SetyoNt

Jatengaja.com - Sebelum adanya kereta api cepat Jakarta-Bandung Whoosh yang dibangun pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi), ternyata pemerintah Indonesia pernah mempunyai gagasan untuk membangun kereta api cepat tersebut. Gagasan ini telah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Rencana pembangunan kereta cepat tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) V dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) tahap II, sebagai salah satu proyek strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa.
Dilansir dari Trenasia.id, jaringan Jatengaja.com, Pada akhir 1980-an, pemerintah Presiden Soeharto menilai bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat itu sebanding dengan Jepang ketika negeri Sakura mulai membangun Shinkansen, dikutip dari Redigest, Rabu 29 Oktober 2025.
Dengan kepadatan penduduk Jawa dan laju pertumbuhan transportasi mencapai 5% per tahun, Prisiden Soeharto menganggap sudah waktunya Indonesia beralih ke moda transportasi berkecepatan tinggi.
Pada rencana awal proyek mencakup pembangunan jalur Jakarta-Surabaya melalui lintas utara Jawa. Tahap berikutnya akan diperpanjang hingga Merak-Banyuwangi, dan bahkan disiapkan konsep untuk menyambungkan jaringan ke Pulau Sumatra.
Dilansir dari buku Pengembangan Kereta Api di Indonesia Menyongsong Abad XXI, terbitan Perumka tahun 1990, Rabu 29 Oktober 2025. Secara teknis, rencana tersebut sudah cukup maju pada zamannya. Jalur dirancang dengan lebar rel 1.435 mm (standard gauge), menggunakan listrik aliran atas 25 kV AC 50 Hz, dan memiliki kecepatan operasional di atas 300 km/jam.
Sistem pengendalian juga dirancang terpusat berbasis komputer, dilengkapi Automatic Train Stop (ATS), Defect Diagnostic System, dan telekomunikasi radio untuk menjamin keselamatan perjalanan.
Desain sarana yang direncanakan mengusung konsep push-pull, di mana lokomotif berada di kedua ujung rangkaian. Kereta dibuat streamline dengan kabin kedap udara, suspensi sekunder, serta sistem rem cakram, regeneratif, dan eddy current.
Motor penggerak menggunakan AC tiga fasa asynchron dengan sistem VVVF-GTO, sedangkan pantografnya memakai tipe single arm model Z. Dalam operasinya, kereta direncanakan berangkat setiap dua jam sekali, menempuh jarak Jakarta–Surabaya dalam waktu tiga jam, dengan enam trainset operasional dan dua cadangan.
Durasi pembangunan kereta cepat itu diproyeksikan 15 tahun sejak 1991, dengan total anggaran sekitar Rp6 triliun (nilai 1990), yang akan dibiayai melalui APBN dan pinjaman luar negeri.
Untuk merealisasikan rencana besar itu, Presiden Soeharto sempat mengundang perusahaan Prancis SNCF, operator kereta cepat TGV, untuk melakukan studi kelayakan, namun hasilnya tidak sesuai harapan.
SNCF menilai proyek tersebut tidak menguntungkan secara komersial, karena jalur yang direncanakan harus melewati lebih dari 23 terowongan dengan kondisi geoteknik yang sulit dan tidak stabil. Akibatnya, pihak Prancis menarik diri, dan proyek pun berhenti di tahap studi.
Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup era Soeharto, juga sempat menyoroti bahwa proyek-proyek infrastruktur, termasuk kereta cepat, kerap diwarnai unsur politik dan membuat birokrasi tidak efisien.
Menurutnya, pendekatan pembangunan pada masa itu sering kali lebih menekankan pencitraan politik dibanding efisiensi teknokratik, sehingga banyak rencana besar akhirnya tersendat di tahap implementasi.
Setelah pembatalan proyek kereta cepat, pemerintah mengalihkan fokus ke peningkatan jaringan kereta eksisting. Beberapa proyek prioritas yang akhirnya dijalankan meliputi rehabilitasi jembatan lintas utara Jawa untuk lokomotif CC 201, pembangunan jalur ganda Cikampek-Cirebon, jalur pintas Tanjungenim-Baturaja, serta rehabilitasi Padalarang-Purwakarta.
Selain itu, pemerintah juga mengembangkan angkutan semen di Indarung dan Gresik, angkutan peti kemas di Pantura, serta pembangunan jalur Nambo-Tanjung Priuk.
Meski rencana kereta cepat kandas, gagasan tersebut tidak benar-benar hilang. Banyak pejabat perkeretaapian kala itu menyimpan blueprint dan data teknisnya, yang kemudian menjadi referensi penting dalam perencanaan proyek masa depan.
Lebih dari dua dekade kemudian, gagasan tersebut akhirnya terwujud di masa Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2023, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) resmi beroperasi secara komersial, menjadi kereta cepat pertama di Asia Tenggara.
Dengan kecepatan maksimal 350 km/jam, kereta ini mampu memangkas waktu tempuh Jakarta–Bandung menjadi kurang dari satu jam. Meski jalurnya berbeda dari rencana Soeharto, semangat modernisasi transportasi nasional yang menjadi dasar pemikiran proyek ini tetap sama: menghadirkan moda transportasi cepat, efisien, dan berteknologi tinggi di Indonesia.
Rencana kereta cepat di era Soeharto menunjukkan bahwa Indonesia sudah lama memiliki visi untuk memasuki era transportasi modern. Kendati gagal terealisasi saat itu, konsep dan studi yang dilakukan pada awal 1990-an menjadi fondasi penting bagi pengembangan teknologi perkeretaapian nasional di masa berikutnya.
Kini, setelah lebih dari tiga dekade, cita-cita itu akhirnya menjadi kenyataan. Dari blueprint di masa Soeharto hingga jalur berkecepatan tinggi di era Jokowi, perjalanan panjang kereta cepat Indonesia mencerminkan evolusi kebijakan, teknologi, dan visi bangsa menuju masa depan transportasi modern. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 29 Oct 2025
Bagikan
transportasi
10 hari yang lalu
transportasi
8 bulan yang lalu
Surat Terbuka
9 bulan yang lalu