DPR
Selasa, 05 April 2022 11:45 WIB
Penulis:SetyoNt
Editor:SetyoNt
Jakarta, Jatengaja.com – DPR RI segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan segera disahkan menjadi UU.
Pengesahan UU TPKS yang sudah dinantikan sejak lama, bisa menjadi kado manis bagi para perempuan menjelang peringatan Hari Kartini 2022.
RUU TPKS semula bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pertama kali dibahas di DPR pada Mei 2016, saat Puan Maharani menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Setelah hampir 6 tahun, RUU yang diyakini bisa menjawab keresahan para perempuan terkait kekerasan seksual masuki babak akhir saat Puan menjabat Ketua DPR.
Aktivis perempuan yang juga pegiat literasi, Nury Sybli, mendorong RUU ini segera disahkan pada bulan April 2022 sebelum masa reses anggota DPR RI.
“Sekarang dengan posisi Mbak Puan sebagai Ketua DPR sudah seharusnya segera disahkan karena beliau memang sudah konsen juga terkait hal ini sejak masih menjadi Menko PMK,” kata Nury, Selasa (5/4/2022).
Nury mengapresiasi langkah Puan yang turut serta mengajak para aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terlibat memberi masukan untuk isi RUU TPKS.
Setelah RUU TPKS disahkan, menurut aktivis perempuan bisa memberi jawaban bagi permasalahan kekerasan seksual yang selama ini kerap dialami para perempuan.
“Inilah nomentum bagi Mbak Puan untuk segera mengetok palu sidang di Paripurna DPR untuk pengesahan RUU TPKS, sekaligus menjadi kado spesial menjelang peringatan Hari Kartini tanggal 21 April,” tandasnya.
RUU TPKS, imbuh Nury merupakan kunci negara memberikan perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.
RUU TPKS sebelumnya telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada 18 Januari lalu. Dari 9 fraksi yang ada di DPR, hanya PKS yang menyatakan penolakan.
Saat ini DPR dan pihak pemerintah terus mengebut pembahasan RUU TPKS agar dapat rampung sebelum anggota dewan memasuki masa reses pada 15 April.
RUU ini pada intinya mempermudah korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan di mata hukum. Jika disahkan nantinya, maka kepolisian tak bisa lagi menolak laporan korban kekerasan seksual.
Penyelesaian perkara tindak kekerasan seksual juga tak boleh lagi diselesaikan lewat mekanisme restorative justice yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban.
Rangkul Semua Kepentingan
Puan Maharani sempat menerima aspirasi dari sejumlah aktivis perempuan mengenai RUU TPKS pada 12 Januari 2022.
Mereka berasal dari berbagai lembaga mulai dari Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Koalisi Perempuan Indonesia, Maju Perempuan Indonesia (MPI), Badan Riset Nasional (BRIN), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), hingga perwakilan dari Universitas Diponegoro (Undip).
“Masukan yang sudah disampaikan memberikan saya kekuatan tambahan untuk melaksanakan ini sebaik-baiknya. Saya meminta masukan dari luar supaya warnanya itu beragam, bisa merangkul dan mencakup semua kepentingan yang harus kita lindungi,” ungkap Puan dalam pertemuan itu.
Puan juga merasa bangga karena banyak perempuan di Indonesia peduli dengan nasib sesamanya. Perjuangan kaum perempuan, terasa berbeda karena memiliki ikatan tersendiri.
“Ada pengalaman khas perempuan. Penderitaan kita itu dari awal sampai akhir, sampai katanya anak itu nggak bisa lepas dari ibunya. Betul, karena saya ibu 2 anak dan merasakannya,” terang politisi PDI Perjuangan
RUU TPKS harus hadir sebagai satu payung hukum untuk menjaga serta membuat aman masyarakat, khususnya kaum perempuan. Meski begitu, juga menilai pentingnya memperhatikan korban-korban kekerasan seksual dari kelompok masyarakat lainnya seperti kaum lelaki dan disabilitas.
“Karena ada juga laki-laki korban kekerasan seksual. Jadi harapannya adalah RUU TPKS nantinya dapat melindungi, memberikan rasa aman, nyaman bukan hanya buat perempuan dan anak tapi seluruh warga Indonesia,” kata Puan.
“Ini harus menjadi undang-undang yang dapat membuat kita bekerja dengan nyaman dan merasa dilindungi, agar UU ini juga dapat melindungi anak hingga cicit kita,” sambung perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR. (-)
Bagikan
DPR
2 tahun yang lalu