UU P2SK Belum Cukup Berdayakan BPR BPRS

Sulistya - Sabtu, 18 Maret 2023 20:54 WIB
Dr H Subyakto SH MH MM, Komisaris Utama dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) BPR Arto Moro.

Semarang, Jatengaja.com - Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) telah disahkan Presiden Joko Widodo pada kamis (12/1) setelah sebelumnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI (15/12/2022).

Sebagai beleid baru, untuk membedah aturan tersebut, bersamaan dengan agenda Rakornas di Hotel Paragon Semarang, Perbarindo menggelar seminar nasional bertema ‘Peluang dan Tantangan Industri BPR BPRS di Tengah Hadirnya UU P2SK.

UU P2SK disusun menggunakan metode omnibus law. UU yang terdiri atas 27 bab dan 341 pasal tersebut setidaknya merevisi 17 UU terkait sektor keuangan. Khusus untuk industri BPR BPRS, revisi dalam UU P2SK antara lain meliputi perubahan nama dari Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat.

Perubahan nomenklatur ini dilakukan untuk membuat BPR semakin berperan dalam menopang bisnis UMKM dan perekonomian Indonesia. Perubahan lain terkait BPR BPRS adalah perluasan bidang usaha ke arah penukaran valuta asing (valas) dan transfer dana, bisa melakukan initial public offering (IPO), dapat melakukan penggabungan dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), pengaturan kerjasama dengan bank umum.

BPR BPRS yang tergabung dalam Perbarindo menyambut baik kehadiran UU P2SK tersebut. Harapannya, melalui UU P2SK, BPR akan semakin diakui keberadaannya dan berperan lebih penting bagi perekonomian Indonesia melalui penguatan fungsi, peningkatan efisiensi dan profitabilitas.

Komisaris Utama dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) BPR Arto Moro Semarang, Dr H Subyakto SH MH MM mengapresiasi langkah-langkah penguatan yang dilakukan pemerintah dan DPR RI terhadap industri BPR. Meski demikian, pengembangan dan penguatan BPR yang termaktub dalam UU P2SK tersebut belum sepenuhnya optimal dan tepat sasaran dalam pemberdayaan BPR BPRS.

“Kita apresiasi upaya pemberdayaan BPR BPRS ini. Perubahan nama tidak perlu terlalu diglorifikasi karena ini memang sudah seharusnya, sudah fitrahnya dan sudah sebuah keniscayaan. Tetapi masalah yang substansial untuk BPR, seperti akses pembiayaan dan penguatan dukungan kepada UMKM belum mendapatkan perhatian,” kata Subyakto.

Perubahan nama dari Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat tentu akan membawa dampak positif bagi industri BPR. Ini sesuatu yang layak diapresiasi. Akan tetapi, perubahan nomenklatur ini adalah sesuatu yang secara alamiah memang harus terjadi, jadi bukan sesuatu prestasi yang luar biasa.

Anggota DPR RI Periode 2009-2014 tersebut menambahkan, apabila pemerintah memang berniat serius memperkuat industri BPR maka seyogyanya UU P2SK juga memuat norma yang secara jelas memberikan dukungan kepada BPR dalam penyediaan pembiayaan kepada UMKM.

“Selama ini, BPR BPRS merupakan ujung tombak dan garda paling depan dalam mendukung pertumbuhan UMKM di Indonesia. UMKM itu kan DNA-nya BPR. BPR dan UMKM ibarat 2 sisi koin mata uang, tidak terpisahkan. Apabila pemerintah serius mendukung BPR dan juga serius membangkitkan industri UMKM, maka seharusnya BPR diberikan dukungan akses pembiayaan sebagai penyalur langsung KUR kepada UMKM sehingga tingkat keterjangkaun program KUR akan semakin luas,” katanya.

Kendala UMKM

Selama ini, kendala utama UMKM adalah akses permodalan. Banyak industri BPR BPRS yang feasibly tapi tidak bankable. Ketika bank umum tidak bersedia memberikan pembiayaan kepada UMKM, BPR BPRS hadir membantu dan memberikan pendampingan. Sehingga menurutnya adalah sesuatu yang aneh ketika kemudian pemerintah menggulirkan program pembiayaan KUR baik melalui skema IJP ataupun subsidi bunga/margin, BPR BPRS justru tidak dilibatkan sebagai penyalur langsung KUR.

“Saat ini BPR BPRS tidak bertindak sebagai penyalur langsung KUR kepada UMKM. BPR BPRS hanya berfungsi sebagai agen dari bank-bank besar yang ditunjuk pemerintah sebagai penyalur KUR. Proses pengajuan sebagai agen ini relatif sulit sehingga nyaris tidak ada BPR BPRS yang bisa memanfaatkan program ini. Dengan kinerja BPR dan daya jangkau BPR hingga ke pelosok terpencil, harusnya pemerintah tidak ada alasan untuk tidak menunjuk BPR menjadi mitra utama dalam penyaluran KUR,” tutur Subyakto.

Ditegaskan, akses terhadap pembiayaan ini yang seharusnya diakomodir oleh UU P2SK ataupun aturan turunannya yang nantinya akan dibuat oleh pemerintah. Tidak hanya akses pembiayaan KUR, penguatan BPR BPRS juga diharap terjadi pada program pembiayaan pemerintah lainnya seperti BLU Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB) atau program lain yang nantinya digulirkan pemerintah.

“Penguatan akses pembiayaan ini yang seharusnya diperjuangkan dalam UU P2SK. Karena UU P2SK sudah diundangkan, maka dewan sebagai perwakilan dari rakyat harus memastikan dan menjembatani komunikasi dengan pemerintah ataupun OJK agar peran BPR sebagai penyalur langsung KUR ini dapat diakomodir dalam aturan turunan atau aturan pelaksana UU P2SK,” ucap Subyakto.

Terkait kelembagaan dan permodalan, lanjutnya, penguatan kelembagaan yang nantinya ada di aturan pelaksana UU P2SK hendaknya disusun dalam rangka penguatan BPR. Sepanjang permodalan yang dimiliki sudah sesuai sesuai ketentuan perundang-undangan, maka inovasi dan ruang gerak BPR dalam melakukan pengembangan bisnis dan penyaluran kredit hendaknya juga diberikan perlindungan dan dukungan, baik dari sisi regulasi maupun operasional di lapangan. (-)

Editor: Sulistya

RELATED NEWS