Sejarah Sistem Outsourcing di Indonesia
Jakarta, Jatengaja.com - Pada saat peringatan Hari Buruh di Monas, Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing atau alih daya.
Pernyataan ini menjadi sorotan publik, terutama di tengah meningkatnya kritik terhadap praktik outsourcing yang dianggap merugikan pekerja. Bagaimana asal mula dan perkembangan sistem ini di Indonesia?
Praktik alih daya sejatinya bukan hal baru di tanah air. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku berjudul Sejarah Indonesia Modern mencatat pada masa kolonial Belanda, pemerintah Hindia Belanda mempekerjakan buruh pribumi secara kontrak untuk bekerja di sektor perkebunan.
- PSPP UNS Inisiasi Wisata Kampus Benteng Pancasila
- IPPA Fest 2025 Jadi Ajang BRI Dukung Kreativitas Warga Binaan
- Wagub Jateng Gus Yasin Dorong Percepat Sertifikasi Tanah Wakaf Masjid, Musala, dan Pesantren
Sistem ini disinyalir mengeksploitasi tenaga kerja tanpa imbalan yang layak. Pasca-kemerdekaan, sistem serupa sempat menghilang. Namun pada era 1990-an, sejumlah perusahaan kembali menerapkan alih daya dengan alasan efisiensi.
Gagasan tentang pembagian kerja ke pihak lain bermula dari pemikiran bapak kapitalisme, Adam Smith pada tahun 1776 yang menekankan efisiensi melalui spesialisasi. Pemikiran ini kemudian diperkuat Ronald Coase pada 1973 yang menyatakan bahwa perusahaan sebaiknya hanya menjalankan fungsi internal bila biayanya lebih murah daripada membeli dari luar.
Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, praktik outsourcing mulai berkembang pesat secara global seiring meningkatnya persaingan dan kebutuhan efisiensi dalam manajemen.
Perkembangan Regulasi Outsourcing di Indonesia
Pada era 1990-an, outsourcing mulai digunakan terbatas untuk pekerjaan penunjang. Namun, pasca krisis ekonomi 1998, praktik ini meningkat sebagai salah satu cara untuk menyerap pengangguran.
Tonggak legalitas outsourcing hadir di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini mengatur outsourcing hanya diperbolehkan untuk pekerjaan bukan inti, seperti jasa kebersihan, pengamanan, penyediaan makanan, penunjang pertambangan dan angkutan pekerja.
Pasal 66 juga menegaskan pekerja outsourcing dilarang mengisi posisi yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Namun, dalam praktiknya, banyak perusahaan melanggar aturan ini dengan menempatkan pekerja outsourcing di lini utama produksi, tanpa jaminan kerja, upah layak, dan perlindungan setara dengan karyawan tetap.
- Gubernur Jateng Wajibkan 7.810 Kades untuk Ikuti Sekolah Antikorupsi
- Perempuan Dituntut Kuasai Literasi Keuangan untuk Hindari Penipuan dan Kejahatan
- Konglomerat Korsel Temui Presiden Prabowo, Komitmen Tambahh Investasi Senilai Rp28,6 Triliun
Revisi Melalui UU Cipta Kerja dan Perppu
Pada tahun 2020, pemerintah mengesahkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang ini menghapus pembatasan jenis pekerjaan outsourcing, membuka ruang luas bagi praktik alih daya tanpa batasan sektor.
Kebijakan ini diperkuat dengan terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2022, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2022. Pasal 64 Perppu ini menyebut bahwa pekerjaan dapat dialihdayakan melalui perjanjian tertulis, dengan rincian pekerjaan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dilegalkannya outsourcing untuk pekerjaan inti. Banyak serikat pekerja mengecam perluasan praktik outsourcing ini. Mereka menilai ketentuan baru justru menciptakan ketidakpastian hukum dan diskriminasi antara pekerja outsourcing dan karyawan tetap.
Pekerja outsourcing kerap menghadapi PHK sepihak, tidak mendapatkan pesangon, serta minim perlindungan sosial. Serikat buruh pun mendesak pemerintah untuk menetapkan batasan tegas terhadap jenis dan jumlah pekerjaan yang dapat dialihdayakan.
Komitmen Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing menjadi angin segar bagi kalangan buruh. Meski belum ada rincian kebijakan, pernyataan ini menandai arah baru kebijakan ketenagakerjaan di bawah pemerintahan mendatang.
Jika benar dijalankan, hal ini akan menjadi langkah monumental dalam perlindungan hak-hak buruh di Indonesia. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 05 May 2025