Mengenal Redenominasi dan Dampaknya
Jakarta, Jatengaja.com - Rencana redenominasi rupiah sebagai bagian dari pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Harga Rupiah kembali dikaji.
Langkah ini disampaikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam agenda penyusunan Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029. Sebelumnya, rencana redenominasi ini berada dalam 19 RUU prioritas Kementerian Keuangan dan DPR yang diatur dalam PMK 77/PMK.01/2020.
Melansir dari BFI Finance pada Senin, 10 November 2025, redenominasi merupakan proses penyederhanaan angka mata uang yang berlaku di suatu negara dengan mengurangi angka nol pada mata uang tersebut tanpa mengubah nilai tukar.
- Desak Regulasi Berkeadilan, Kepala Daerah Soroti Ketidaksesuaian FCTC dengan Kondisi Nasional
- Pemerintah Tegaskan HTI Bukan Penyebab Deforestasi di Indonesia
- Pebrik Pengolahan Sampah Limbah Plastik dan Elektronik Senilai US$200 akan Dibangun di Jateng
Misalnya, Rp1.000 akan ditulis menjadi Rp1, tetapi nilai transaksi dan harga barang tetap setara. Secara prinsip, redenominasi dilakukan untuk mempermudah pencatatan keuangan, transaksi, dan sistem pembayaran yang kini semakin terhubung dengan layanan digital.
Pemerintah menilai penulisan angka rupiah yang panjang cenderung menimbulkan kerumitan dalam pembukuan, terutama pada sistem akuntansi perusahaan, laporan kas UMKM, serta transaksi harian di e-commerce dan perbankan digital.
Tingkatkan Citra Mata Uang
Redenominasi juga dianggap dapat meningkatkan citra mata uang rupiah di tingkat internasional, serupa dengan kebijakan yang sebelumnya dilakukan Turki, Korea Selatan, dan Zimbabwe dalam periode stabilisasi ekonomi.
Pelaksanaan redenominasi tidak dilakukan secara mendadak. Tahapannya meliputi periode penulisan harga ganda, di mana label harga dan uang akan menampilkan nilai lama dan nilai baru secara bersamaan.
Proses ini diproyeksikan selama bertahun-tahun, agar pelaku usaha, sektor jasa keuangan, dan masyarakat dapat menyesuaikan sistem operasional serta kebiasaan transaksi. Pemerintah juga menekankan kebijakan ini berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang yang mengubah daya belinya. Hal ini dikarenakan redenominasi tidak mengurangi nilai tabungan maupun kemampuan membeli.
Bagi masyarakat, terutama kelompok usia 18–35 tahun yang aktif menggunakan dompet digital, layanan pesan-antar, hingga pembayaran quick response (QR) code, perubahan ini akan terlihat langsung dalam tampilan harga dan saldo pada aplikasi.
- Pemprov Jateng dan Pertamina Pasok 4.500 Tabung LPG 3 Kg di Wilayah Banjir Kota Semarang
- Gelar CJIBF, 34 Investor Siap Investasi Senilai Total Rp5 Triliun di Jawa Tengah
- Ini Syarat Daftar Program Beasiswa Santri dan Pengasuh Pesantren Jateng 2026
Proses adaptasi pada kelompok usia tersebut, diperkirakan lebih cepat mengingat tingkat literasi digital yang tinggi dan kebiasaan mengakses informasi keuangan melalui ponsel atau handphone. Namun, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara luas agar tidak terjadi salah tafsir yang dapat memicu penyesuaian harga secara sepihak di pasar.
Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi ekonomi Indonesia dinilai memenuhi syarat dasar untuk penerapan redenominasi, dengan inflasi yang berada pada kisaran terjaga sekitar 2 hingga 4 persen per tahun dan nilai tukar yang relatif stabil.
Meski demikian, berhasil atau tidaknya kebijakan ini akan bergantung pada konsistensi sosialisasi kebijakan publik, kesiapan sistem pembayaran nasional, serta disiplin pelaku usaha dalam mempertahankan stabilitas harga selama masa transisi. (-)
