Ketika Tambang Ilegal Jadi Kambing Hitam Kemiskinan

SetyoNt - Senin, 22 Juli 2024 22:40 WIB
Kawasan Pulau Sangihe dilihat dari udara.

Jakarta, Jatengaja.com - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Bappenas belum lama mengungkap adanya anomali yakni tingginya kemiskinan di daerah kaya pertambangan. Melimpahnya sumber daya alam yang mestinya memberikan kesejahteraan masyarakat sekitar justru gagal mengangkat ekonomi mereka.

Secara kasat mata itu salah satunya terlihat di Sumatra Selatan (Sumsel), provinsi dengan cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia yakni 9,3 miliar ton. Pada 2023, Sumsel memproduksi 104,68 juta ton batu bara dan menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp9,898 triliun dengan rincian yakni iuran tetap Rp66,4 miliar dan royalti Rp9,832 triliun.

Guyuran rupiah ini tak mampu mengurangi kemiskinan di Sumsel secara signifikan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di provinsi itu pada Semester I 2024 mencapai 10,97%, lebih tinggi dibanding tingkat kemiskinan rata-rata Indonesia di periode yang sama yakni 9,03%.

Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, M. Idris F. Sihite, menyebut banyak tambang tak berizin atau legal di Sumsel yang mencari keuntungan sesaat dengan mengabaikan kaidah pertambangan yang bertanggungjawab menjadi penyebab kemiskinan di provinsi tersebut.

Menurut Idris, penghentian anomali pengelolaan sumber daya alam tersebut butuh upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Itu termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.

“Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut, apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasar 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya, dikutip dari website Kementerian ESDM, Senin, 22 Juli 2024.

Tambang ilegal, yang sebagian operasionalnya dilakukan warga, seringkali menjadi kambing hitam tak berkembangnya ekonomi setempat. Padahal jika ditelisik, pertambangan dengan izin lengkap pun tak menjamin beres. Operasional mereka tak jarang merampas penghidupan masyarakat yang sudah berlangsung lama.

Di Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, sedikitnya ratusan petambang emas sempat terdampak usai kehadiran PT Tambang Mas Sangihe (TMS). TMS adalah perusahaan Kanada-Indonesia yang mengelola tambang emas skala besar di kawasan itu. Lahannya mencapai 65,48 hektare.

Izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi PT TMS bahkan mencakup wilayah seluas 42.000 hektare. Luas itu separuh lebih dari Pulau Sangihe yang hanya 73.698 hekatre. Kampung Bowone dan tetangganya, Binebas, sendiri telah ditetapkan sebagai lokasi pertambangan sejak Januari 2021.

Kawasan tambang emas rakyat yang telah menjadi penghidupan warga setempat sejak 1986 kini terancam dikuasai korporasi besar. Bahkan, PT TMS bakal bercokol di kawasan itu hingga 2054 dengan target produksi 0,37 ton emas per tahun.

Beruntung, September 2023 lalu ESDM mencabut status operasi produksi. Hal itu setelah Mahkamah Agung (MA) merespons gugatan masyarakat sipil. Namun TMS disebut berencana mengulang proses perizinan karena mengklaim kontrak karya mereka tetap berlaku.

Di Maluku Utara, hilirisasi nikel oleh tambang berizin terbukti telah merusak pulau-pulau kecil. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melaporkan hasil laut warga Pulau Obi dan wilayah pesisir laut menurun drastis menyusul pencemaran berat akibat aktivitas pertambangan.

Sejumlah warga desa bahkan dipaksa pindah karena berada dalam area pertambangan nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP). Sementara itu, pertambangan pasir laut untuk menunjang proyek Makassar New Port (MNP) turut menyebabkan kerusakan wilayah tangkapan nelayan tradisional.

Sampai saat ini, lebih dari 70% masyarakat di Pulau Kodingareng harus keluar pulau mencari pekerjaan karena lautnya sudah hancur. “Proyek MNP dan pertambangan pasir Laut yang merupakan PSN telah melanggengkan kerusakan dan kemiskinan masyarakat dan perempuan pesisir,” ujar Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil, Parid Ridwanuddin.

Lebih lanjut, riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan mikro (IKM) di desa sekitar tambang justru relatif lebih rendah dibanding desa yang jauh dari tambang.

Merujuk data BPS yang diolah dalam penelitian ini, desa dekat tambang hanya memiliki 19,66 unit IKM di tahun 2021, sementara desa jauh dari tambang memiliki 35,77 unit IKM. Rendahnya jumlah IKM di desa yang bergantung pada sektor tambang tak lepas dari ketergantungan yang tinggi pada aktivitas pertambangan.

Kurangnya diversifikasi ekonomi lantaran dominasi pertambangan juga menghambat pertumbuhan industri kecil warga. Padahal, IKM menjadi wujud kemandirian warga dalam memenuhi kebutuhannya. “Sudah saatnya kita mengadopsi kebijakan ekonomi baru yang mendukung pelestarian alam serta peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar ekonom Celios, Nailul Huda.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 22 Jul 2024

Editor: SetyoNt

RELATED NEWS