Sabtu, 03 Agustus 2024 08:58 WIB
Penulis:Sulistya
Editor:Sulistya
ANKARA - Turki secara tegas mencoba menghentikan semua kerja sama NATO dengan Israel sejak Oktober tahun lalu. Langkah ini diambil pemerintahan Presiden Turki, Tayyip Erdogan sebagai respons terhadap genosida yang berkecamuk di Gaza. Turki menyatakan aliansi militer tersebut tidak boleh melanjutkan kemitraannya dengan Israel hingga konflik berakhir.
Sejak saat itu Turki memveto segala bentuk keterlibatan NATO dengan Israel, termasuk berbagai pertemuan dan latihan militer bersama. Menurut Turki, tindakan Israel terhadap warga Palestina di Gaza bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar NATO. Sebagai hasilnya, semua aktivitas kolaboratif antara NATO dan Israel dibekukan.
Setelah pertemuan puncak NATO di Washington pada bulan Juli, Erdogan menegaskan kembali sikapnya bahwa NATO tidak bisa melanjutkan kemitraan dengan Israel dalam kondisi saat ini.
Awal minggu ini, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz mendesak NATO mengeluarkan Turki dari aliansi tersebut, pernyataan ini mencuat setelah Erdogan mengancam akan masuk ke Israel, seperti yang dilakukan Turki di Libya dan Nagorno-Karabakh. Sontak ancaman Erdogan menambah ketegangan yang sudah memanas di antara kedua negara.
Namun, Israel dengan pongah menolak tuduhan tersebut. Diketahui Israel telah lama menjadi mitra NATO dan memiliki hubungan erat dengan aliansi tersebut serta beberapa anggotanya, terutama Amerika Serikat. Meskipun bukan anggota penuh, Israel sering terlibat dalam latihan dan pertemuan strategis bersama NATO.
Hingga kini, Turki bertekad untuk melanjutkan blokade ini hingga konflik berakhir. Pemerintah Turki berpendapat tindakan Israel melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia, sehingga tidak pantas untuk melanjutkan kemitraan dengan NATO.
Turki telah mengeluarkan kritik keras terhadap operasi militer Israel di Gaza, seraya menyebutnya sebagai tindakan genosida. Selain menghentikan semua perdagangan bilateral dengan Israel, Ankara juga mengecam banyak sikap sekutu Barat atas dukungan mereka terhadap Israel.
Penyelidik PBB menyatakan tindakan militer Israel di Gaza dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, mengingat tingginya jumlah korban sipil yang menyentuh angka 40 ribu orang.
Konflik antara Turki dan Israel ini menambah kompleksitas situasi geopolitik di Timur Tengah. Blokade yang diberlakukan oleh Turki terhadap kerja sama NATO-Israel mencerminkan ketegangan yang mendalam dan tantangan besar bagi stabilitas regional serta hubungan internasional.
Turki telah menangguhkan semua perdagangan dengan Israel terkait pembantaian di Gaza, Erdogan beralasan "tragedi kemanusiaan yang makin parah" membuat Turki harus mengambil tindakan.
Kementerian Perdagangan Turki mengatakan tindakan tersebut akan diberlakukan hingga Israel mengizinkan "aliran bantuan yang tidak terputus dan cukup" ke Gaza.
Perdagangan antara kedua negara bernilai hampirUS $7 miliar atau sekitar Rp113,4 triliun (kurs Rp16.210) pada tahun 2023. Menteri luar negeri Israel, Israel Katz menuduh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertindak seperti "diktator".
"Tn. Erdogan mengabaikan kepentingan rakyat dan pengusaha Turki serta mengabaikan perjanjian perdagangan internasional," cuit Israel Katz dilaman X pribadinya bulan Mei yang lalu. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 02 Aug 2024
Bagikan