Rabu, 09 November 2022 15:27 WIB
Penulis:Sulistya
Editor:Sulistya
CALIFORNIA - Mark Zuckerberg, pendiri Facebook sudah setahun bergerak secara resmi membangun Metaverse. Ambisi Mark kala itu tampak dari aksinya mengubah nama Facebook menjadi Meta.
Memanfaatkan modal miliaran dolar, Tim Meta semakin gencar membangun dunia metaverse. Mulai dari klaim lahan, properti, hingga pengadaan konser dilakukan. Sayangnya, setelah setahun bergulir, proyek ini tak membuahkan hasil sesuai harapan.
Alih-alih booming lantaran mengikuti tren baru yang terkesan futuristik seperti digadang-gadang, Metaverse ternyata malah sepi peminat. Artinya, upaya Meta menghidupkan pengguna Metaverse tak sesuai harapan.
Mengutip New York Times Selasa, 9 November 2022, terhambatnya pertumbuhan pengguna Meta masih berkaitan dengan stagnansi pertumbuhan pengguna Facebook.
Berdasarkan laporan keuangan, sejumlah aplikasi yang berada di bawah naungan Meta seperti WhatsApp, Messenger, dan Instagram masih membukukan keuntungan. Namun, Facebook malah kehilangan setengah juta pengguna selama kuartal keempat dibanding periode sebelumnya.
Mengutip dari www.trenasia.com, penurunan jumlah pengguna ini merupakan yang pertama sejak 18 tahun terakhir. Sebelumnya, Facebook terus membukukan kenaikan jumlah pengguna baru. Adanya penurunan menandakan bahwa aplikasi tersebut telah berada di titik puncak.
Selain pertumbuhan pengguna yang semakin stagnan, sepinya peminat Meta ada kaitannya dengan perusahaan teknologi lain yang ramai peminat yakni Apple.
Baru-baru ini, Apple dikabarkan memperkenalkan pembaruan mengenai transparasi pelacakan apliasi ke sistem operasi selulernya. Hal ini memungkinkan pemilik iPhone memilih apakah mereka membiarkan aplikasi seperti Facebook memantau aktivitas online mereka. Langkah privasi inilah yang merugikan bisnis Meta dan kemungkinan akan terus berlanjut.
Selain dua hal tersebut, hal yang paling signifikan mengenai tak lakunya Metaverse yang dibuat oleh Meta adalah lantaran dunia kedua buatan Meta, Horizon Worlds memiliki terlalu banyak masalah terkait kualitas.
Berdasarkan laporan The Verge, rendahnya kualitas Horizon World menyebabkan orang enggan masuk Metaverse, meski mereka karyawan Meta.
Menurut penyataan VP Metaverse, Vishal Shah, pihaknya telah menempatkan Horizon Worlds dalam penguncian kualitas untuk sisa tahun 2022. Shah juga mengakui potensi metaverse lewat memonya pada tim yang menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan.
"Tetapi saat ini umpan balik dari pembuat, pengguna, penguji, dan banyak dari kami di tim adalah bahwa berat agregat potongan kertas, masalah stabilitas, dan bug membuat komunitas kami terlalu sulit untuk mengalami keajaiban Horizon," tulis memo tersebut seperti dikutip TrenAsia.com.
"Sederhananya, agar sebuah pengalaman menjadi menyenangkan dan kuat, pertama-tama harus dapat digunakan dan dibuat dengan baik," tambahnya.
Dari perspektif bisnis, tujuan akhir membangun metaverse adalah untuk mengontrol platform VR dengan basis pengguna yang besar dan mengenakan pajak untuk setiap pembelian dalam ekosistem ini. Ide bisnis dan Ekonomi Metaverse bisa dibilang sangat mirip dengan toko aplikasi iOS dan Google Play pada Android.
Seperti diketahui, Apple mengambil potongan 30% dari pengembang yang menghasilkan lebih dari US$1 juta dalam penjualan tahunan. Untuk pengembang yang menghasilkan di bawah angka tersebut, potongan yang diberikan sebesar dan 15%.
Di sisi lain, Google Play telah mengurangi biaya platformnya dari 30% menjadi 15%. Roblox ( RBLX ) mengambil 30% dari pengembang di setiap penjualan Robux dalam pengalaman pengembang di platform. Terakhir, platform NFT populer OpenSea hanya membutuhkan 2,5%.
Meski idenya hampir mirip AppStore dan Google Play, sebelumnya Zuckerberg sebelumnya mengkritik Apple karena membebankan biaya 30% besar-besaran pada penjualan toko aplikasi yang dia yakini akan merugikan inovasi.
Nyatanya, pada April lalu, Meta Mengumumkan bahwa perusahaan akan membebankan pengembang sebanyak 47,5% per penjualan dalam metaverse yang meliputi 30% biaya Meta Quest Store dan 17,5% biaya Horizon Worlds.
Dengan mengambil potongan hampir 50% dari pengembang yang menjual produk digital di metaverse, Meta memberi pencipta insentif untuk tidak menginvestasikan terlalu banyak waktu dan upaya pada platformnya kecuali jika basis pengguna terlalu besar untuk dilewati.
Ini kemudian menjadi situasi ayam-dan-telur di mana pengembang tidak akan tahan dengan biaya yang luar biasa tinggi jika tidak ada miliaran pengguna di metaverse, dan pengguna tidak akan mau menghabiskan waktu di metaverse jika tidak ada itu banyak pengembang yang bersedia membuat konten baru dan menarik setiap saat.
Mengingat perusahaan besutan founder Meta sebelumnya, Facebook memiliki banyak peminat, Mark Zuckerberg seharusnya dapat berkaca dari fenomena yang terjadi.
Tapak tilas 18 tahun lalu, Facebook didirikan dengan pendekatan yang mengutamakan pengguna. Bagai sebuah keajaiban, Facebook berhasil menghubungkan teman, keluarga, dan orang-orang yang sudah lama tak bersua.
Tak hanya itu, di masa jayanya, Facebook juga berhasil menghubungkan para pengguna untuk mendapat teman atau kenalan baru yang tak pernah terjadi di aplikasi sebelumnya.
Seiring perkembangan, Facebook tak lagi sekadar penghubung. Melainkan menjadi aplikasi untuk wadah promosi, jualan, organisasi dan gerakan, hingga berbagi kabar berita.
Pada Oktober 2021, CEO Mark Zuckerberg mengumumkan visi Facebook untuk membangun keberadaan virtual alternatif bagi individu dengan menggunakan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).
Pada saat itu, Mark berkata bahwa Fokus Meta adalah menghidupkan metaverse dan membantu orang terhubung, menemukan komunitas, dan mengembangkan bisnis.
Dalam sembilan bulan pertama tahun 2022, divisi metaverse perusahaan yang dikenal sebagai Reality Labs telah kehilangan lebih dari US$9,4 miliar atau kisaran Rp146,9 triliun (asumsi kurs Rp14.600 per dolar AS) yang dihabiskan untuk R&D. Faktanya, antara Januari 2019 dan September 2022, Meta menginvestasikan US$36 miliar atau kisaran Rp562,7 triliun yang menggiurkan ke Reality Labs, divisi yang membangun AR.
Perlu diketahui seseorang dapat memasuki dunia virtual yang ada seperti Dyschronia, The Room VR, Puzzling Places, dan beberapa game dan aplikasi lainnya menggunakan headset Oculus. Namun, kecuali ada adopsi arus utama secara besar-besaran, dunia virtual ini dapat direduksi menjadi kota hantu.
Founder metaverse di India, Loka, Krishnan Sundararajan mengatakan bahwa Meta seharusnya lebih fokus pada pengguna dan bukan hanya infrastruktur.
“Sebuah platform hanya berharga ketika memiliki cukup banyak pengguna di dalamnya. Ini adalah sesuatu yang salah dari banyak proyek metaverse baru lainnya,” katanya.
Dia mencontohkan proyek metaverse Web3 The Sandbox dan Decentraland sebagai pembanding. Menurut agregator data DappRadar, dunia virtual berbasis Ethereum Decentraland memiliki 38 pengguna aktif pada 6 Oktober 2022. Sementara The Sandbox memiliki 522 "pengguna aktif" pada saat yang sama.
Meskipun angka-angka ini diperdebatkan, dan Decentraland berpendapat bahwa rata-rata memiliki lebih dari 8.000 pengguna per hari, angka-angka tersebut masih belum menunjukkan reputasi yang baik untuk salah satu metaverse tertua dan paling menonjol yang dibangun di atas teknologi blockchain.
Krishnan menyarankan upaya metaverse yang lebih baru, termasuk Meta, harus fokus pada menghadirkan pengalaman dalam game atau di dunia yang unggul untuk memikat pengguna, dan tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur.
“Ini adalah sesuatu yang mungkin bisa mereka pelajari dari platform game virtual lama yang sukses seperti Fortnite, Roblox, dan Minecraft,” jelasnya.
Sekadar informasi, banyak pengusaha yang membangun proyek dunia virtual percaya ada formula kemenangan serupa di luar sana untuk membuat metaverse menjadi mainstream untuk berbagai kasus penggunaan seperti produktivitas, pekerjaan, kebugaran, musik, dan seni. (-)
Bagikan