Pemerintah Akan Kucurkan Dana Rp200 Triliun ke Perbankan, Pengamat Nilai Salah Sasaran

Selasa, 16 September 2025 07:30 WIB

Penulis:SetyoNt

Editor:SetyoNt

Screenshot_20250908_181504_Chrome.jpg
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewo akan pindahkan dana Rp200 triliun ke perbankan. (istimewa)

Jakarta, Jatengaja.com - Pemerintah akan menarik dana negara senilai  Rp200 triliun yang saat ini mengendap di Bank Indonesia (BI), dan akan diialihkan ke sektor perbankan guna memperkuat likuiditas.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, langkah ini dilakukan selain aspek likuiditas, prioritas utama adalah memastikan dana tersebut benar-benar tersalurkan ke kredit, bukan digunakan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN) ataupun kembali disimpan oleh bank sentral.

“Total dana pemerintah yang tersimpan di BI, yaitu sekitar Rp425 triliun, nantinya yang Rp200 triliun akan dipindahkan ke bank-bank untuk memacu peredaran uang di masyarakat dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi,” katanya dilansir dari trenasia.id, jaringan jatengaja.com.

Kebijakan pemerintah ini memicu saham-saham bank BUMN mengalami kenaikan tajam di Bursa Efek Indonesia. Pada Kamis, 11 September 2025, saham-saham seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI), Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Tabungan Negara (BTN) mengalami kenaikan bervariasi antara 2% hingga lebih dari 5% saat pembukaan pasar.

Sementara, Direktur Eksekutif Sigmaphi Indonesia Muhammad Islam menilai rencana Menteri Keuangan yang memindahkan dana pemerintah dari Bank Indonesia sebesar Rp200 triliun ke bank BUMN (Himbara) salah sasaran,  karena masalah utama dalam penyaluran kredit perbankan bukan berasal dari likuiditas, tapi dari rendahnya permintaan kredit.

“Persoalannya bukan keringnya likuiditas di pasar keuangan, tapi lemahnya prospek penjualan domestik dan daya beli masyarakat. Jadi, menambah likuiditas perbankan tidak otomatis mendorong kredit," ujarnya di Jakarta, Sabtu 13 September 2025.

Berdasarka data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2025, rasio loan to deposit (LDR) perbankan berada di level 86,5%, turun dari 88,3% pada bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bank masih memiliki kapasitas untuk menyalurkan kredit, sehingga kendala utamanya adalah rendahnya permintaan.

Menurut Humammad Islam, nilai dana  Rp200 triliun yang dipindahkan tersebut sebenarnya hanya sekitar 4,73% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) Himbara dan hanya 2,14% dari DPK seluruh perbankan nasional.

Per Juni 2025, total DPK Himbara mencapai Rp4.228,32 triliun. Dengan porsi yang relatif kecil tersebut, sehingga efeknya terhadap peningkatan kredit diperkirakan tidak signifikan.

“Tanpa menangani akar masalah, dana pemerintah yang dialihkan ke Himbara berisiko hanya tersimpan kembali dalam bentuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) daripada disalurkan ke sektor riil,” katanya. 

Ia menambahkan pemerintah terbuka mengenai tujuan kebijakan tersebut. Jika tujuannya memang untuk mendukung pembiayaan APBN, akan lebih tepat menggunakan mekanisme Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dengan persetujuan DPR, dibandingkan menyalurkannya melalui perbankan yang justru dapat menambah cost of fund pemerintah.

Pemerintah berharap dana Rp200 triliun yang dialihkan ke Himbara dapat menjadi modal tambahan bagi bank BUMN dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas. Islam menilai pendekatan yang mengandalkan prinsip supply creates its own demand sulit diterapkan dalam kondisi saat ini.

Dunia usaha hanya akan mengajukan kredit jika prospek penjualan menjanjikan, sementara lemahnya daya beli masyarakat, tingginya persepsi risiko, dan ketatnya persyaratan perbankan membuat minat untuk meminjam tetap rendah.

Sementara itu, Dewan Pakar Apindo, Danang Girindrawardana, mengapresiasi kebijakan Purbaya menyalurkan dana untuk menggerakkan aktivitas perekonomian. Namun, mengingatkan masalah deindustrialisasi bukan semata-mata disebabkan oleh keterbatasan cadangan kredit.

Menurutnya, bunga kredit investasi masih relatif tinggi, sementara sektor manufaktur belum cukup tanggap menghadapi perubahan di pasar global. Pemerintah perlu mengeluarkan strategi bunga rendah. 

Saat ini, bunga kredit di Indonesia masih tertinggi di ASEAN.  Menurutnya, jika benar-benar ingin mempercepat investasi riil, diperlukan keberanian untuk mengubah konvensionalitas bisnis perbankan, termasuk restrukturisasibunga.

Potensi kelebihan likuiditas di bank Himbara perlu diwaspadai. Ia menyoroti penyaluran kredit yang sebelumnya sempat tersandung masalah hukum, seperti dugaan penyimpangan di sebuah pabrik tekstil di Solo.

“Anggaran jumbo yang diinjeksikan harus dibarengi prinsip prudentialitas yang memadai. Kekhawatiran muncul kalau arus kredit ini hanya jadi lalu lintas deposito atau kredit antarbank, bukan untuk mendorong investasi riil,” tegasnya.

Dana Rp200 triliun tersebut ditempatkan oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk deposito on call dengan tingkat bunga setara 80,476% dari BI rate, atau sekitar 4,02%. Bank penerima diwajibkan membayarkan bunga tersebut kepada pemerintah sebagai pemilik deposito. (-)