Rabu, 20 November 2024 17:42 WIB
Penulis:Sulistya
Editor:Sulistya
Jakarta, Jatengaja.com - Pengenaan PPN 12% termuat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dengan pengenaan tarif 12% ini harga sejumlah barang dan jasa hampir bisa dipastikan akan naik.
Keputusan Pemerintah untuk menaikkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 menimbulkan gejolak.
"Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 ayat (1) aturan tersebut, dikutip pada Selasa, 18 November 2024.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, masyarakat Indonesia harus menanggung beban lebih berat jika PPN tetap dinaikkan menjadi 12%. Terlebih kenaikan terjadi saat masih banyaknya badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) imbas daya beli yang menurun.
"Kenaikan PPN 12% akan langsung naikkan inflasi umum, berbagai barang akan jauh lebih mahal harganya," katanya pada Selasa, 19 November 2024.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dari Januari hingga Oktober 2024, ada 63.947 pekerja terkena PHK dan DKI Jakarta menjadi provinsi tertinggi penyumbang PHK tersebut.
Jika dilihat dari sisi, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 tercatat stagnan di level kontraksi sebesar 49,2 atau tidak ada perubahan dari bulan sebelumnya.
Indeks manufaktur nasional itu telah terkontraksi sejak Juli 2024 lalu di level 49,3 atau kontraksi pertama sejak 34 bulan ekspansif di atas 50, sementara pada Agustus merosot ke angka 48,9.
Dalam laporan S&P Global terbaru, operasional manufaktur Indonesia masih mengalami penurunan dari sisi produksi, permintaan baru, dan ketenagakerjaan.
Risiko lain yang mengintai masyarakat saat PPN menjadi 12% di 2025 salah satunya akan meningkatkan biaya transportasi dan distribusi barang. Ini pada akhirnya akan dibebankan ke konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi.
Efisiensi pajak yang menurun, dalam teori Kurva Laffer, peningkatan tarif pajak yang berlebihan dapat menurunkan aktivitas ekonomi formal. Akibatnya, basis pajak menyusut dan total penerimaan pajak justru berkurang, meskipun tarifnya meningkat.
Arfan (30) seorang Pegawai Negeri Sipil di salah satu kementerian mengaku dalam waktu dekat sebenarnya ia ingin membeli mobil baru. Namun dengan melihat kondisi PPN yang akan dinaikkan menjadi 12% niat tersebut diurungkan. Padahal niat untuk mengganti mobil baru itu telah dipikirkan bertahun-tahun lamanya sembari menabung.
Dia kembali menimbang niatnya untuk melakukan pembelian kendaraan karena berjaga-jaga anggarannya sebagai dana darurat. Atau mengatasi dampak kebutuhan pokok akan naik menyusul PPN 12% yang akan diterapkan.
Pria ini juga kembali mereset ulang tabungannya untuk menghadirkan pos-pos anggaran baru yang dapat menekan dampak PPN ke depannya. Keluarga kecilnya ini pun diminta lebih berhemat agar mengurangi pengeluaran yang tidak perlu demi menyikapi adanya kenaikan PPN 12% ini. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 19 Nov 2024
Bagikan