Berikut Sejumlah Kriris yang Terjadi Antara China dan Taiwan

Jumat, 05 Agustus 2022 07:51 WIB

Penulis:Sulistya

Editor:Sulistya

dongfeng.jpg
Rudal dongfeng (PLA Army)

Taiwan, Jatengaja.com - China meluncurkan sejumlah rudal balistik Dongfeng ke perairan Taiwan. Akibat tembakan rudal tersebut Taiwan membatalkan sejumlah penerbangan. 

Menurut pejabat Taiwan, rudal jatuh  di dekat pulau Matsu.  Kementerian pertahanan negara itu juga mengatakan beberapa rudal balistik Dongfeng  diluncurkan ke perairan sekitar timur laut dan barat daya. Serangan terjadi sebelum pukul 14.00 waktu setempat.

Setidaknya 40 penerbangan ke dan dari pulau tersebut dibatalkan. China juga telah memerintahkan kapal dan pesawat untuk menghindari latihan militer yang mengelilingi negara itu.

Surat kabar Hong Kong, The South China Morning Post menyebut latihan itu secara efektif telah memblokade Taiwan. Dampak pembatalan terhadap pengiriman chip prosesor dan barang lainnya saat ini belum jelas.

Beijing mengumumkan bahwa  latihan  dilakukan setelah Ketua Kongres Amerika  Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan. Negara ini juga telah melarang impor ratusan makanan Taiwan termasuk ikan, buah, dan kue sebagai konsekuensi dari kunjungan tersebut.

Krisis keempat

Situasi sekarang ini bisa menjadi krisis Selat Taiwan keempat. Insiden serupa terjadi pada tahun 1954, 1958, dan pada pertengahan 1990-an. Krisis sebelumnya  melibatkan aktor yang sama tetapi masalah yang terlibat agak berbeda.

Krisis pertama terjadi tidak lama setelah berakhirnya Perang Korea. Saat itu  Beijing mencoba menghalangi pemerintahan Eisenhower untuk menandatangani perjanjian pertahanan  dengan pemimpin Partai Nasionalis Chiang Kai-shek. Kai-Shek  melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949 setelah kalah perang saudara melawan Mao Zedong. Amerika dan Taiwan akhirnya menandatangani perjanjian pertahanan pada tahun 1954.

Amerika  mencoba mencegah pasukan China merebut pulau Kinmen dan Matsu yang dikuasai Taiwan di lepas pantai tenggara China. Wilayah yang dibombardir China dengan artileri. Namun Amerika juga ingin menahan Chiang Kai-shek untuk mencoba merebut kembali daratan  dengan serangan balik.

Sedangkan konflik kedua terjadi pada 1958 yang diwarnai  lebih banyak penembakan di pulau-pulau itu. Militer Amerika merencanakan penggunaan senjata nuklir terhadap China untuk mencegah pengambilalihan atas pulau-pulau Kinmen dan Matsu. Tetapi Presiden Dwight Eisenhower menolak gagasan itu.

Akhirnya keduanya mengalami kebuntuan yang tidak nyaman, di mana kelompok komunis dan nasionalis saling tembak pada hari-hari yang berbeda.  Menteri Luar Negeri Amerika saat itu, John Foster Dulles  menggolongkan pemboman sebagai taktik propaganda dan dirancang untuk menciptakan kesan bahwa mereka China adalah tuannya. 

Krisis ketiga meletus pada tahun 1995 atas kunjungan Presiden Taiwan Lee Teng-hui ke almamaternya, Universitas Cornell. Pemerintahan Clinton awalnya menentang gagasan itu tetapi terpaksa mengalah menyusul resolusi Kongres yang mendukung kunjungan tersebut.

China menanggapi dengan latihan militer selama berbulan-bulan, termasuk menembakkan rudal ke perairan Taiwan, dan melatih serangan amfibi di pulau itu. Beijing melihat kunjungan Lee ke Amerika sebagai pengkhianatan  terhadap komitmen Washington terkait kebijakan satu-China. 

Demikian pula, mengenai kunjungan Pelosi ke Taiwan.  Beijing percaya bahwa Amerika secara bertahap melubangi kebijakan satu-China.

Militer Beijing kembali melenturkan ototnya untuk menghalangi pemilihan presiden tahun 1996.

Taktik itu menjadi bumerang. Amerika mengirim dua kelompok tempur kapal induk ke perairan dekat Taiwan. Dan pemilih Taiwan memilih Lee dengan 54% suara. Ini menjadi pemilihan presiden langsung pertama di pulau itu.

Dan kini krisis kembali kalinya datang. Apakah situasi ini akan berakhir seperti empat krisis sebelumnya atau memiliki warna berbeda. Semua masih menjadi tanda tanya. (-)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Amirudin Zuhri pada 04 Aug 2022