APARSI dan PPKSI Minta Larangan Jual Rokok 200 Meter dari Sekolah pada RPP Kesehatan Dihapus

Kamis, 11 Juli 2024 13:01 WIB

Penulis:SetyoNt

Editor:SetyoNt

pedagang protes.jpg
APARSI dan PPKSI Minta Larangan Jual Rokok 200 Meter dari Satuan Pendidikan pada RPP Kesehatan Dihapus (Jatengaja.com/Istimewa)

Jakarta, Jatengaja.com - Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) dan Persatuan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (PPKSI) secara bersama-sama meminta pemerintah menghapuskan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang tertera pada Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan.

Berdasarkan draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang beredar luas disebutkan pada pasal 434 ayat 1 huruf e bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik: dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan atua sekolah dan tempat bermain anak.

Ketua Umum APARSI, Suhendro, mengatakan aturan tersebut akan menghambat pertumbuhan ekonomi kerakyakatan. Padahal Pemerintah tengah mendorong berbagai inisiatif dan program untuk mendongkrak geliat ekonomi kerakyatan.  Selain itu, aturan tersebut juga akan mengancam mata pencaharian para pedagang kecil yang di seluruh Indonesia. 

“Mempertimbangkan gentingnya status pengesahan RPP Kesehatan yang segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan, maka kami telah menyurati Presiden Jokowi untuk meminta perlindungan terhadap sektor penggerak ekonomi kerakyatan,” katanya dalam konferensi pers tentang Sikap APARSI dan PPKSI terkait larangan penjualan 200 meter pada RPP Kesehatan, Jakarta, Rabu (10/07/2024).

Suhendro melanjutkan aturan larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter tersebut mustahil untuk diimplementasikan, karena kebanyaknya pasar yang berdekatan dengan sekolah atau instansi pendidikan lainnya ditambah dengan sebaran lokasi sekolah. 

Jika disahkan, aturan ini akan menimbulkan domino effect yang dapat mengancam keberlangsungan seluruh pedagang kecil di Indonesia. 

“Kalau melihat kondisi di lapangan saat ini, aturan ini sama saja ingin mematikan usaha perdagangan rakyat. Jika diterbitkan, maka rantai pasok antara pedagang grosir pasar dengan pedagang kelontong bisa rusak akibat regulasi yang tidak berimbang tersebut,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Hamdan Maulana dalam kesempatan sama menyampaikan 60% total rata-rata pendapatan harian pedagang toko kelontong di Indonesia berasal dari perjualan rokok denga kisaran omzet harian sebesar Rp6-Rp7 juta. 

Aturan ini juga akan mendiskriminasi pedagang kecil yang telah memiliki warung berdekatan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak. 

“Bagaimana nasib para pedagang kelontong yang dari dulu sudah memiliki warung di dekat sekolah? Apakah mereka harus dipaksa pindah? Kalau aturan ini disahkan, maka omzet para pedagang tersebut akan anjlok. Bagi kami, aturan ini sangat diskriminatif,” katanya.

Oleh karena itu, APARSI dan PPKSI meminta kepada Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani RPP Kesehatan yang dapat memberikan dampak negatif bagi jutaan pedagang kecil di seluruh Indonesia. 

Apalagi, lanjut Junaidi, pihaknya bersama APARSI, yang merupakan pihak terdampak, belum dimintai pendapat dalam perumusan aturan tersebut. 

“Hingga kini, kami belum dilibatkan dalam perumusan RPP Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan. Padahal, kami adalah pihak yang dirugikan dari aturan tersebut. Namun, saat ini kami tengah berusaha untuk menyampaikan aspirasi dan jalan tengah yang kami usulkan dengan mengadu kepada Kementerian Perdagangan,” ujarnya.

Sebagai informasi, APARSI menaungi 9 juta anggota para pedagang pasar rakyat di seluruh Indonesia, termasuk toko kelontong dan sembako.  Sedangkan, PPKSI memiliki anggota sebanyak 800 ribu warung kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. (-)