UU P2SK Disahkan, BPR Tak Diikutkan sebagai Penyalur Dana PEN

Sulistya - Senin, 26 Desember 2022 09:55 WIB
Komisaris Utama dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) BPR Arto Moro, Dr H Subyakto SH MH MM.

Semarang, Jatengaja.com - Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) merupakan salah satu upaya pemerintah mereformasi sektor keuangan sebagai syarat utama membangun perekonomian yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan.

UU P2SK juga dimaksudkan memperkuat fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Penguatan BPR antara lain dilakukan dengan cara mengubah nama Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Perubahan nomenklatur ini dilakukan untuk membuat BPR semakin berperan dalam menopang bisnis UMKM dan perekonomian Indonesia.

Selain nama, penguatan fungsi BPR dalam UU P2SK juga dilakukan dengan memperluas bidang usaha BPR ke arah penukaran valuta asing dan transfer dana. Pemerintah mendorong peran BPR agar semakin penting ke depan dengan penguatan permodalan serta peningkatan efisiensi dan profitabilitas.

Kalangan industri BPR menyambut baik pengesahan UU P2SK, meskipun dirasa banyak hal substansial dan aspirasi BPR yang belum terakomodasi dalam aturan tersebut.

Komisaris Utama sekaligus Pemegang Saham Pengendali (PSP) BPR Arto Moro, Dr H Subyakto SH MH MM mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah penguatan yang dilakukan pemerintah.

“Perubahan nama dari Bank Perkreditan Rakyat menjadi Bank Perekonomian Rakyat akan membawa efek besar bagi keberadaan BPR. Hal ini karena istilah Bank Perkreditan memiliki rasa bahasa, image, dan branding yang kurang bagus bagi masyarakat,” kata Subyakto.

Menurut anggota DPR RI Periode 2009-2014 tersebut, di samping apresiasi terhadap poin-poin yang memang dapat memperkuat keberadaan BPR, pihaknya juga mengkritisi beberapa isu krusial yang belum diakomodir. Apabila Pemerintah berniat serius memperkuat industri BPR, maka seyogyanya aturan baru juga memberikan dukungan kepada BPR dalam penyediaan pembiayaan kepada UMKM.

“UMKM itu kan DNAnya BPR. Apabila pemerintah serius mendukung BPR dan juga serius membangkitkan industri UMKM, seharusnya BPR lebih diberikan dukungan berupa akses untuk menjadi penyalur dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kepada UMKM, di antaranya pembiayaan KUR, Subsidi bunga/Margin Non-KUR, dan program Lembaga Pemberian Dana Bergulir (LPDB),” tuturnya.

Pemerintah perlu memperluas skema Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tidak hanya bank BUMN, BPD, Bank Umum Swasta, Lembaga Pembiayaan dan Koperasi dilibatkan, seyogyanya BPR juga harus diikutsertakan.

Selain itu, lembaga keuangan baik bank maupun nonbank yang memberikan pinjaman kepada UMKM juga perlu lebih fleksibel terkait persyaratan untuk mengakses fasilitas pembiayaan. Hal ini mengingat industri UMKM bukanlah industri korporasi yang memiliki manajemen modern ataupun sistem administrasi pembukuan tertata rapi sehingga banyak yang berstatus non bankable.

“Apabila UMKM yang dalam kondisi non-bankable lalu ditinggalkan, tentu selamanya pelaku UMKM tersebut tidak akan bisa bangkit. Ini tentulah sangat tidak adil. Di sinilah peran penting BPR karena lebih memahami realitas dan ekosistem UMKM,” katanya.

Penguatan

Terkait penguatan sektor perbankan, poin lain yang menjadi sorotan adalah masih terjadinya perbedaan sudut pandang antara OJK selaku pengawas dan regulator dengan pelaku perbankan sebagai pelaksana di lapangan. Perbedaan tersebut antara lain menyangkut besaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK), besaran Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR), dan Capital Adequacy Ratio (CAR). Menurut Subyakto, besaran BPMK akan lebih efektif apabila dipatok pada angka 50%.

ATMR untuk kredit dengan agunan berupa tanah dan/atau bangunan bersertipikat yang dibebani hak tanggungan dengan bobot resiko sebesar 30%, dinialai kurang relevan.

“Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dijamin aman karena merupakan kreditur separatis sehingga risiko yang ditanggung menjadi minim, maka seharusnya bobot resiko bisa diturunkan antara 20-10%. Hal ini akan membuat bank bisa bergerak lebih bebas karena dana yang bisa disalurkan kredit menjadi lebih besar,” tuturnya.

Terkait pengawasan dan penguatan sistem keuangan, Subyakto menyoroti soal kinerja OJK di tingkat regional yang kerap menerapkan regulasi secara tekstual, tanpa mempertimbangkan aspek strategi bisnis dan rencana strategis pelaku di lapangan. Bahkan, tidak jarang OJK di tingkat regional membuat aturan sendiri di luar peraturan resmi OJK Pusat sehingga memberatkan pelaku di lapangan.

“POJK Nomor 5 /POJK.03/2015 secara jelas menyatakan bahwa BPR wajib menyediakan modal minimum yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12% dari ATMR. Tetapi OJK regional terkadang meminta BPR untuk menaikkan modal hingga melebihi ketentuan tersebut,” tuturnya.

Dijelaskan, momok yang menghantui pelaku perbankan bukanlah permodalan atau CAR, tetapi cash ratio atau ketersediaan likuiditas. Ratio CAR penting untuk memback up apabila terjadi kredit bermasalah. Sepanjang pelemparan kredit berjalan dengan baik dan tidak terjadi kredit macet, maka ratio CAR tidak perlu dipupuk tinggi.

“Apabila aturan diterapkan secara letter lux, maka industri BPR tidak akan bisa tumbuh dengan optimal. Strategi dan rencana bisnis pelaku di lapangan juga harus didukung sepanjang tidak menabrak aturan yang berlaku. Bank perlu diberikan ruang dan dukungan dengan tetap dilakukan pengawasan. Semoga ke depan, komunikasi antara OJK dan pelaku di lapangan lebih baik sehingga pertumbuhan BPR dapat maksimal dalam koridor aturan yang telah ditentukan,” tuturnya. (-)

Editor: Sulistya

RELATED NEWS