Tantangan Kendaraan Listrik di Indonesia
Jakarta, Jatengaja.com - Adopsi kendaraan listrik sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh emisi polusi udara dari transportasi jalan, khususnya yang terjadi di beberapa kota besar. Namun, kesiapan pasar Indonesia untuk mobilitas kendaran listrik, masih terganjal sejumlah tantangan.
Partner dan Global Head of Arthur D. Little’s Automotive Practice, Andreas Schlosser mengatakan, masih ada setidaknya lima tantangan dasar terhadap peralihan Indonesia menuju mobilitas listrik.
“Industri otomotif merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca paling signifikan di Indonesia, yakni sebesar 27 persen dan menempati peringkat kedua sebagai penghasil emisi terbesar. Mengingat target Net Zero pemerintah pada tahun 2060, dekarbonisasi sektor transportasi memiliki peran penting,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa 1 Agustus 2023, dikutip dari www.trenasia.com.
- Eropa Tak Konsisten Terapkan UU Deforestasi
- Catat Aturan Baru KAI, Penumpang Sengaja Turun Melebihi Tujuan Akan Didenda
- 128 ASN Pemkot Semarang Pensiun, Ada Asisten III dan Kepala DPMPTSP
Berdasarkan laporan ADL bertajuk “Unleashing Indonesia’s Electric Mobility Potential”, tantangan pertama yang dihadapi Indonesia adalah adanya ketergantungan yang kuat pada produksi Original Equipment Manufacturer (OEM) otomotif yang terbatas.
Disusul oleh terbatasnya pengembangan infrastruktur pengisian daya yang masih belum memadai. Infrastruktur pengisian daya dikatakan sebagai ganjalan besar bagi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
Selanjutnya, laporan ini menilai bahwa pemrosesan nikel untuk kebutuhan baterai di Indonesia kurang berkembang. Kemudian, baterai lithium ferro phosphate dinilai sebagai ancaman bagi keberadaan nickel manganese cobalt.
Terakhir, keseimbangan antara keterkaitan regional dan prioritas nasional. Asal tahu saja, Indonesia memang memiliki sumber daya nikel, namun masih tergantung pada negara terdekat untu mendapatkan mineral lainnya. Sehingga hal ini dianggap akan mengganggu keseimbangan antara keterkaitan regional dan perioritas sumber daya nasional.
Pengembangan
Berdasarkan publikasi ADL terbaru ‘Global Electromobility Readiness Index (GEMRIX) edisi 2022 – 2023’, Indonesia termasuk dalam pasar EV yang sedang berkembang dengan skor 43 dari 100 untuk kesiapan Battery Electric Vehicle (BEV). Hal ini sejalan dengan negara-negara, seperti Uni Emirat Arab dan Thailand.
Namun demi mempercepat adopsi kendaraan listrik, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya untuk mengembangkan rantai pasokan kendaraan listrik end-to-end sejak 2013.
- Komitmen Telkom Terapkan Net Zero Emission
- Kabar Baik bagi Warga Jateng, Lion Air Layani Penerbangan Langsung Semarang ke Arab Saudi
- Selama Operasi Patuh Candi 2023, di Jateng 30 Orang Tewas Akibat Lakalantas
Sementara sampai dengan 2030, Kementerian Perindustrian telah menetapkan target produksi sebanyak 600 ribu kendaraan listrik roda empat dan 2,45 juta kendaraan listrik roda dua. Target yang ambisius ini juga merupakan hasil dari Indonesia Battery Corporation (IBC) yang berencana membangun pabrik baterai dengan kapasitas awal sebesar 10-15 GWh, yang diharapkan dapat digenjot hingga 20 GWh.
Berdasarkan hasil analisis ADL, Indonesia membutuhkan produksi minimal 340.000 kendaraan listrik (56% dari target semula 600 ribu) untuk memenuhi kapasitas 15 GWh dari permintaan domestik.
Namun, terlepas dari pendekatan komprehensif dan berbagai langkah yang ditawarkan oleh pemerintah melalui dorongan regulasi, tingkat adopsi EV di Tanah Air masih rendah karena berbagai tantangan mendasar. (-)