Sosok Pendiri Diniyah, Rahmah El Yunusiyah yang Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

Sulistya - Selasa, 11 November 2025 20:34 WIB
Lukisan Rahmah El Yunusiyah.

Jakarta, Jatengaja.com – Rahmah El Yunusiyah resmi mendapat gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada upacara di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 November 2025.

Penghargaan tersebut diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025.

Rahmah El Yunusiyah menjadi salah satu dari sepuluh tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Namanya disejajarkan dengan sejumlah tokoh besar lainnya, seperti Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, dan Syaikhona Kholil Bangkalan.

Profil Rahmah El Yunusiyah

Rahmah lahir pada tahun 1900 di Nagari Bukit Surungan (Kelurahan Bukit Surungan) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Ia berasal dari keluarga yang terpandang. Anak bungsu dari lima bersaudara ini adalah putri pasangan Muhammad Yunus dan Rafiah. Rahmah tumbuh dalam keluarga yang taat agama.

Ayahnya merupakan seorang qadhi (hakim dalam hukum Islam) dan ahli ilmu falak di Pandai Sikat. Sementara, kakeknya dikenal sebagai ulama dan tokoh tarekat Naqsyabandiyah yang berpengaruh di Tanah Minang.

Kakak sulungnya, Zainuddin Labay, merupakan seorang tokoh pembaharu dalam sistem pendidikan Islam Diniyah School yang didirikan tahun 1915.

Latar belakang keluarganya ini membuat Rahmah untuk tekun menimba ilmu, termasuk berguru kepada sejumlah ulama terkemuka di Minangkabau.

Diketahui, ia hanya menempuh pendidikan dasar selama tiga tahun di Diniyah School, tapi Rahmah El Yunusiyah dikenal memiliki pengetahuan yang luas. Ia banyak belajar secara otodidak serta menimba ilmu langsung dari dua kakaknya, Zainuddin Labay dan Mohammad Rasyid.

Seperti halnya masyarakat Melayu pada umumnya yang menyeimbangkan antara pendidikan umum dan agama, Rahmah juga intens belajar agama.

Rahmah dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, menyukai hal-hal baru, dan memiliki tekad yang kuat. Jika telah menetapkan keinginannya, hampir tidak ada yang dapat menghalanginya. Berkat kecerdasannya, setelah menamatkan sekolah, ia diminta untuk menjadi guru di almamaternya sendiri.

Di tengah kesibukannya mengajar, Rahmah juga menempuh kursus kebidanan di RSU Kayu Taman pada periode 1931-1935, serta mempelajari ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Melansir dari pustakaarsip.kamparkab.go.id, Rahmah merasa prihatin melihat kondisi pendidikan di Sumatra Barat yang belum menyentuh kelompok perempuan. Ia meyakini perempuan seharusnya memperoleh kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Saat itu, perempuan yang bersekolah masih edikit. Masyarakat Melayu saat itu umumnya beranggapan bahwa perempuan merupakan warga kelas dua yang tidak perlu menempuh pendidikan tinggi.

Rahmah sangat prihatin terhadap keadaan tersebut. Ia meyakini pendidikan memiliki peran penting bagi kaum perempuan. Melalui pendidikan, perempuan dapat meningkatkan harkat dan martabatnya serta berperan dalam melahirkan generasi penerus yang berkualitas.

Dari keprihatinan itulah, Rahmah El Yunusiyah bertekad mendirikan sekolah khusus bagi perempuan. Dengan dukungan kakak sulungnya, Zainuddin Labay, ia berhasil mewujudkan cita-citanya. Pada 1 November 1923, berdirilah Madrasah Diniyah Li al-Banat.

Bersama kakaknya, Zainuddin Labay, Rahmah bekerja sama mengelola sekolah tersebut. Awalnya, sekolah ini hanya memiliki 71 murid yang terdiri dari para ibu muda. Kegiatan belajar dilakukan di serambi Masjid Pasar Usang, mereka belajar ilmu-ilmu agamadan Bahasa Arab.

Seiring waktu, jumlah murid Rahmah terus meningkat. Namun, baru sepuluh bulan setelah sekolah berjalan, Zainuddin Labay wafat dalam usia muda, meninggalkan duka mendalam bagi Rahmah.

Rahmah kehilangan sosok yang selama ini menjadi pembimbing, penuntun, dan pemberi semangat dalam mewujudkan cita-citanya. Namun, ia tidak tenggelam dalam kesedihan. Rahmah segera bangkit dan terus melanjutkan perjuangan melalui Madrasah Diniyah Li al-Banat.

Ia bahkan membuat keputusan dengan menyelenggarakan sistem pengajaran klasikal yang dilengkapi berbagai sarana seperti gedung, meja, bangku, papan tulis, kapur, dan perlengkapan lainnya.

Rahmah berjuang keras untuk membangun gedung bagi sekolahnya. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, bangunan tersebut akhirnya dapat berdiri di atas tanah wakaf yang diberikan oleh ibunya, Ummu Rafiah.

Di bangunan sederhana berukuran 12 x 7 meter yang terbuat dari bambu itu, kegiatan belajar-mengajar berlangsung setiap hari. Dia senantiasa berupaya memberikan yang terbaik bagi lembaga pendidikan yang ia dirikan.

Ia bercita-cita membangun gedung yang lebih layak bagi para siswanya, menggantikan bangunan bambu yang sebelumnya digunakan. Untuk mewujudkan hal itu, Rahmah memutuskan mengadakan perjalanan penggalangan dana.

Pada tahun 1927, Rahmah menggalang dana di Aceh dan Sumatera Utara selama tiga bulan. Selain untuk tujuan tersebut, perjalanan itu juga dimanfaatkan sebagai kegiatan studi banding bagi para calon guru di Madrasah Diniyah Li al-Banat.

Rahmah menghadap para sultan untuk memaparkan visi dan misi sekolahnya. Ia juga menyempatkan diri mengunjungi berbagai sekolah ternama pada masa itu.

Hasil dari upaya penggalangan dana tersebut, Rahmah berhasil mendirikan gedung sekolah dan asrama yang dapat menampung 275 murid dari 350 total murid keseluruhan.

Rahmah juga melakukan pembaruan pada kurikulum. Jika sebelumnya pelajaran yang diberikan hanya fokus pada ilmu agama, ia menambahkan berbagai mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda.

Ia juga menambahkan pelajaran menulis latin, berhitung, tata buku, hitung rugi laba, kesehatan, ilmu alam, anatomi manusia, geografi, biologi tumbuhan dan hewan, serta menggambar.

Adapun kegiatan ekstrakurikulernya mencakup renang, musik, menganyam, dan bertenun. Berkat kegigihannya, lembaga pendidikannya berkembang pesat. Pada tahun 1926, ia membuka kelas Menjesal School yang diperuntukkan bagi perempuan yang belum bisa membaca dan menulis.

Pada tahun 1934, Rahmah mendirikan Taman Kanak-Kanak (Freubel School) serta Junior School yang setara dengan HIS. Ia juga berhasil mendirikan Diniyah School Putri tujuh tahun, yang terdiri dari tingkat Ibtidaiyah selama empat tahun dan Tsanawiyah selama tiga tahun.

Dalam perjalanannya, Rahmah menghadapi kendala kekurangan tenaga pendidik untuk sekolah-sekolah yang ia dirikan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1937 ia membuka Kulliyat al-Mu’allimat al-Islamiyah, sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan mencetak guru-guru muslimah profesional.

Program pendidikan di lembaga ini berlangsung selama tiga tahun. Setahun sebelumnya, pada 1936, Rahmah juga telah mendirikan sekolah tenun.

Diniyah School Putri Padang Panjang mendapat tempat di hati masyarakat. Para lulusannya banyak diminati, tidak hanya di Sumatra dan Jawa, tetapi juga hingga ke Malaysia dan Singapura. Melihat antusiasme tersebut, Rahmah kemudian membuka beberapa cabang Diniyah School.

Saat menghadiri Kongres Perempuan Indonesia sebagai perwakilan Sumatra Barat pada tahun 1935, ia sekaligus meresmikan cabang di Kwitang dan Tanah Abang. Selanjutnya, pada tahun 1950, ia kembali membuka cabang di Jatinegara dan Rawasari.

Rahmah juga berupaya menyempurnakan institusinya dengan mendirikan institusi setingkat perguruan tinggi. Cita-cita tersebut terwujud pada tahun 1967 dengan berdirinya Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah.

Pada 1969, kedua fakultas itu digabung dan berganti nama menjadi Fakultas Dirasah Islamiyyah. Ijazah sarjana dari fakultas ini diakui setara dengan ijazah Fakultas Ushuluddin pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).

Dalam mengelola lembaga pendidikannya, ia memilih untuk bersikap independen dan tidak berafiliasi dengan pihak mana pun, baik pemerintah maupun partai politik.

Sikap kemandiriannya tampak jelas ketika ia menolak bantuan dana pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda dam menolak usulan penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau.

Menurut Rahmah, independensi menyebabkan sekolah bebas untuk berjalan sesuai dengan visi dan misinya sendiri, sehingga dapat melahirkan pelajar yang cerdas, salehah, dan berjiwa tangguh.

Di samping itu, ia juga berperan aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Ia pernah terlibat dalam sejumlah organisasi seperti Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS), Taman Bacaan, dan Anggota Daerah Ibu.

Pada masa pendudukan Jepang, ia aktif dalam organisasi Gyu Gun Ko En Kai dan Haha no Kai. Saat pecah Perang Pasifik, ia mengubah Diniyah School menjadi rumah sakit darurat.

Ketika kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia belum tersebar luas, Rahmah menjadi orang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatra Barat. Pada era kemerdekaan, ia turut membina Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbulwathan, serta berperan dalam mempelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Keberhasilannya dalam mengelola Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang mendapat pengakuan dan apresiasi luas, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Dr. Syaikh Abdurrahman Taj, berkunjung langsung ke perguruan tersebut. Ia kemudian mengadopsi sistem pendidikan Diniyyah Putri Padang Panjang ke Universitas Al-Azhar, yang pada saat itu belum memiliki lembaga pendidikan khusus bagi perempuan.

Rahmah berhasil memberikan pengaruh besar terhadap kurikulum di Universitas Al-Azhar. Atas jasanya tersebut, pada tahun 1957 ia mendapat gelar Syaikhah oleh Universitas Al-Azhar.

Ia menjadi wanita pertama yang menerima gelar tersebut. Pencapaian ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Rahmah, sekaligus prestasi yang mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Rahmah tutup usia pada 26 Februari 1969. Meskipun telah tiada, semangat perjuangannya tetap hidup hingga kini. Perjalanan hidupnya terus menjadi sumber inspirasi bagi kaum muslimah di seluruh Indonesia. (-)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 11 Nov 2025

Editor: Sulistya
Bagikan

RELATED NEWS