Sejumlah Pekerjaan Ini Segera Digantikan AI, Ini Cara Agar Terhindar dari PHK
Jatengaja.com - Munculnya AI (artificial intelligence/akal imitasi) membuat berbagai jenis pekerjaan, terutama yang bersifat repetitif dan rutin, berada dalam ancaman nyata, karena bakal kehilangan pekerjaan atau terkenaa pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ini bukan sekadar kekhawatiran belaka. Laporan dari McKinsey Global Institute, World Economic Forum (WEF), dan Goldman Sachs mengungkapkan bahwa berbagai jenis pekerjaan, terutama yang bersifat repetitif dan rutin, bakal digantikan Teknologi kecerdasan buatan, robotika, hingga sistem otomasi kini mampu menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan efisiensi yang tak tertandingi manusia yakni cepat, akurat, dan tanpa lelah.
Berikut sejumlah pekerjaan yang paling rentan tergantikan AI, serta strategi cerdas yang bisa kamu ambil agar tidak terkena PHK dan tetap unggul di dunia kerja yang berubah cepat ini.
- Indonesia Negara Kepulauan, Perlu Ada Dirjen Transportasi Sungai, Danau, dan Penyebarangan
- Mayjend TNI Achiruddin Darojat Sah Jabat Pangdam IV/Diponegoro
- BRIvolution Phase 1 Diluncurkan, BRI Pacu Inovasi dan Transformasi Layanan
- UMKM Teh Bogor Menjadi Bagian Rantai Pasok Global, BRI Ambil Peran Strategis
- Komitmen Tinggi, AgenBRILink Ini Sediakan Akses Keuangan untuk Petani Lewat 3 Cabang
1. Pekerjaan entry data dan Admin
Bayangkan pekerjaan seperti mengisi lembar spreadsheet setiap hari, menyortir dokumen digital, atau mengelola berkas-berkas administrasi yang terus menumpuk. Semua itu kini dapat diambil alih oleh algoritma otomatis. Software seperti UiPath, Automation Anywhere, dan Microsoft Power Automate bahkan bisa melakukan pekerjaan tersebut dalam hitungan detik—tanpa kesalahan ketik, tanpa istirahat makan siang.
Namun, di balik ancaman itu, ada peluang untuk naik level. Mereka yang semula fokus pada input data, kini bisa mengembangkan diri menjadi analis data, digital administrator, atau bahkan data-driven decision maker.
Dengan mempelajari alat analitik seperti Excel lanjutan, Power BI, dan Google Sheets versi canggih (pivot table, query), serta dasar-dasar SQL dan Python, kamu tidak hanya mempertahankan pekerjaan—kamu membuka jalan karier baru yang lebih strategis.
World Economic Forum bahkan memperkirakan permintaan terhadap analis data akan melonjak 35% dalam lima tahun ke depan. Masa depan bukan tentang siapa yang bisa mengetik paling cepat, tapi siapa yang bisa membaca data dan menjadikannya keputusan cerdas.
2. Customer service
Dulu, menjawab pertanyaan pelanggan di call center atau live chat adalah pekerjaan utama bagi banyak orang. Tapi sekarang, AI seperti ChatGPT, Google Dialogflow, hingga berbagai chatbot pintar lainnya telah mengambil alih. Mereka bisa melayani ribuan pelanggan sekaligus, 24 jam non-stop, tanpa suara lelah atau emosi yang naik turun.
Namun, di sinilah peran manusia justru menjadi lebih penting: di titik-titik yang tidak bisa dijangkau AI.
Mereka yang ingin tetap relevan bisa mengambil peran sebagai spesialis pengalaman pelanggan (Customer Experience Specialist) atau menjadi jembatan antara produk dan pengguna dalam bentuk Product Support Strategist.
Kuncinya adalah membangun pemahaman mendalam tentang perjalanan pelanggan (customer journey), membaca analisis Net Promoter Score, dan mengasah kepekaan terhadap suara konsumen.
Tools seperti Zendesk dan Hubspot bisa jadi senjata, tapi yang lebih penting lagi adalah empati dan kemampuan memecahkan masalah. Menurut survei PwC, 73% konsumen menyatakan bahwa pengalaman adalah faktor utama dalam keputusan mereka membeli. Di era AI, sentuhan manusia justru menjadi pembeda utama.
3. Accounting dan Bookkeping
Tugas-tugas finansial dasar seperti mencatat transaksi, menyusun laporan keuangan, hingga menghitung pajak kini bisa dilakukan oleh berbagai software akuntansi otomatis. Xero, QuickBooks, dan bahkan AI yang tertanam dalam ERP seperti Oracle atau SAP, mampu menyelesaikan semua itu dengan akurasi dan kecepatan tinggi. Bahkan, sistem ini dapat mendeteksi potensi fraud sebelum auditor manusia menyadarinya.
Namun, bukan berarti profesi di bidang keuangan akan hilang. Justru akan berevolusi. Mereka yang dulu fokus pada pencatatan, kini bisa mengarahkan diri menjadi financial analyst, tax advisor, atau asisten CFO yang mampu memberikan interpretasi data keuangan dalam konteks bisnis yang lebih luas.
Untuk itu, menguasai Excel tingkat lanjut saja tak cukup. Kemampuan membaca laporan, memproyeksikan tren keuangan dengan bantuan forecasting tools, serta memahami risiko bisnis akan menjadi nilai tambah. Sertifikasi seperti CFA dan CMA, serta pemahaman tentang analitik keuangan berbasis teknologi, akan membuat kamu tetap dibutuhkan, bahkan di era AI.
4. Pekerjaan Manufaktur dan Gudang
Di pabrik-pabrik modern, lengan robot kini bekerja tanpa henti. Mereka bisa mengepak barang, memindahkan logistik, mengangkat beban berat, dan mengoperasikan mesin dengan presisi milimeter. Perusahaan seperti Amazon dan Tesla telah menunjukkan bahwa otomasi gudang bisa meningkatkan efisiensi secara dramatis.
Namun, bukan berarti manusia dikeluarkan dari persamaan. Yang berubah adalah jenis perannya. Jika sebelumnya berperan sebagai operator, kini tenaga kerja bisa naik kelas menjadi teknisi otomasi, operator mesin berbasis AI, atau bahkan supervisor logistik yang mengelola sistem pintar berbasis IoT.
Skill yang dibutuhkan? Pemrograman PLC, dasar-dasar mekatronika, hingga kemampuan membaca sensor dan menjaga stabilitas sistem otomatis. Tools seperti Siemens TIA Portal atau AutoCAD Electrical bukan lagi milik insinyur saja—mereka yang ingin tetap relevan di dunia manufaktur masa kini harus bisa menguasainya. Deloitte mencatat bahwa transformasi ke Industry 4.0 membutuhkan setidaknya 50 juta tenaga kerja terlatih secara digital hingga 2030.
5. Jurnalis
Mungkin terdengar ironis, tapi bahkan dunia jurnalisme kini tak lepas dari sentuhan AI. Beberapa media besar seperti Bloomberg dan The Washington Post telah menggunakan program seperti Wordsmith dan ChatGPT untuk membuat berita berbasis data—seperti laporan cuaca, hasil pertandingan, atau pergerakan saham.
Namun di tengah otomasi tersebut, manusia tetap dibutuhkan untuk satu hal yang tak bisa diajarkan ke mesin: perspektif. Wartawan kini ditantang untuk tidak hanya menyampaikan fakta, tapi juga menyajikan cerita.
Mereka yang bisa menulis feature, menyusun narasi investigatif, dan menghadirkan insight dari balik data, justru semakin dicari. Peluang terbuka lebar untuk menjadi content strategist, jurnalis investigasi, atau editor yang mampu mengkurasi dan mengarahkan konten berbasis AI.
- SMK Islam Sudirman 2 Ambarawa Terima Bantuan DNA Telkom Semarang Jateng Utara
- Telkom Bersama 300 Dokter Praktik Mandiri di Kendal Perkuat Sibnergi
- Telkom dan Conversant Hadirkan Solusi Distribusi Konten Digital Cepat dan Aman
Tools seperti Hemingway App atau Grammarly membantu meningkatkan kualitas tulisan, tapi nilai sejati tetap datang dari sudut pandang manusia yang unik. Menurut studi dari Reuters Institute, pembaca kini semakin mencari konten yang mendalam dan bermakna—bukan sekadar berita cepat yang terasa datar.
Di tengah semua perubahan ini, satu hal menjadi sangat jelas: AI bukan musuh. Ia adalah alat—dan sebaik-baiknya alat, tetap membutuhkan manusia untuk mengarahkannya. Bukan soal siapa yang lebih kuat atau lebih cepat, tapi siapa yang bisa beradaptasi. Agar kamu tetap eksis dan bahkan bersinar di dunia kerja yang makin canggih, ada beberapa prinsip yang bisa kamu pegang teguh:
Seperti yang diungkapkan dalam laporan World Economic Forum, masa depan pekerjaan bukan tentang manusia yang digantikan mesin, melainkan bagaimana manusia dan mesin bisa bekerja sama. Jadi, saat AI hadir di kantor, jangan panik. Sambut dia sebagai rekan kerja baru—dan pastikan kamu yang tetap memegang kendali arah. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Idham Nur Indrajaya pada 06 Jul 2025