Proyek Tanah Merah Seluas 2.800 Kilometer Persegi, Kebun Sawit yang Rampas Hutan Adat Papua

Sulistya - Senin, 03 Juni 2024 18:00 WIB
Ilustrasi bisnis PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS).

Merauke, Jatengaja.com - Sebuah proyek perkebunan sawit raksasa bernama Proyek Tanah Merah, kembali menjadi sorotan publik setelah viralnya tagar “All Eyes On Papua”.

Proyek ini mencakup area seluas 2.800 kilometer persegi, setara dengan empat kali luasan DKI Jakarta.

Proyek Tanah Merah diprakarsai oleh konsorsium yang dipimpin oleh PT Agrinusa Papua dan The London Investment Group (TLG).

Sejak awal, Proyek Tanah Merah telah menuai banyak kontroversi karena berbagai alasan.

Pertama, proyek ini menyebabkan deforestasi besar-besaran, menghilangkan hutan hujan tropis yang merupakan habitat penting bagi berbagai spesies flora dan fauna.

Selain itu, proyek ini dituduh menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat adat di wilayah tersebut mengaku diintimidasi dan dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan perkebunan.

Intimidasi Masyarakat Adat

Dilansir laporan Gecko Project Investigations Limited, Senin 3 Juni 2024, organisasi nirlaba asal Inggris yang fokus pada investigasi dan pelaporan mendalam tentang berbagai isu, Pada suatu minggu pagi di bulan April 2013, sepasukan tentara dan polisi bersama dengan perwakilan perusahaan mendatangi Desa Meto di Papua.

Tamu tak diundang tersebut membawa serta uang tunai yang mereka bagikan kepada penduduk desa sambil menjanjikan berbagai hal seperti gaji bulanan, listrik, pendidikan, dan kesehatan.

Menurut perhitungan Pastor Felix Amias, total Rp 11,75 miliar telah didistribusikan di empat desa selama empat hari.

“Waktu itu, pemilik-pemilik dusun bertanya, ‘Ini ada kaitan dengan kita punya dusun, tapi dari pihak pemerintah kok mereka menggunakan aparat, terutama polisi?’ terang salah satu warga dilansir dari Thegeckoproject.org.

Namun, satu minggu kemudian, warga desa dikumpulkan di gedung sekolah dan diintimidasi oleh aparat keamanan, membuat masyarakat adat Meto merasa terancam dan bingung tentang nasib tanah mereka.

Proyek Tanah Merah berencana mengambil alih tanah adat Meto tanpa persetujuan yang jelas dari masyarakat, memanfaatkan kehadiran aparat keamanan untuk mengintimidasi dan memberikan janji-janji palsu yang menyesatkan.

“Mereka hanya datang bayar uang permisi, kasih tinggal. Terus, kita sudah tidak tahu mereka pergi ke mana, dan (perkebunan) ini kira-kira ada di mana, Jadi masyarakat di kampung ini macam hidup dalam tekanan-tekanan. Ini kita pu (punya) tanah ini, (tetapi) orang dari perusahaan sudah beli,” kata warga lain.

Praktik KKN

Tidak hanya itu, proyek ini juga dibayangi oleh dugaan korupsi. Proses perizinan dan pelaksanaan proyek diduga melibatkan praktik-praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat setempat. Dugaan ini semakin memperburuk citra proyek di mata publik.

Akibat dari berbagai kontroversi tersebut, Proyek Tanah Merah telah ditunda beberapa kali.

Pada tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin usaha perkebunan (IUP) PT Agrinusa Papua. Namun, The London Investment Group (TLG) masih berusaha untuk melanjutkan proyek ini meski menghadapi banyak tantangan dan penolakan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan Proyek Tanah Merah dan dampaknya terhadap lingkungan serta masyarakat adat di Papua. Masyarakat dan berbagai organisasi lingkungan terus mengawasi perkembangan proyek ini dengan harapan agar hutan Papua dan hak-hak masyarakat adat dapat dilindungi dari ancaman deforestasi dan eksploitasi berlebihan. (-)

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 03 Jun 2024

Editor: Sulistya
Bagikan

RELATED NEWS