Pengobatan TBC Resisten Obat Kini Hanya Dalam Waktu 6 Bulan dari Semula 2 Tahun
Semarang, Jatengaja.com - Berkat kemajuan teknologi kesehatan, pengobatan penyakit Tuberkulosis Resiten Obat (TBC RO) sekarang bisa dilakukan hanya dalam waktu enam bulan, dari semula selam dua tahun.
Ketua Yayasan Semar (Semangat Membara Berantas Tuberkulosis) Jawa Tengah, Diky Kurniawan menyatakan, pengobatan ini memberi harapan baru bagi para penderita penyakit TBC RO.
“Sekarang penderita TBC RO bisa mendapatkan pengobatan dengan jangka waktu lebih singkat, yakni enam bulan. Obat yang diminum juga lebih sedikit, hanya kisaran enam butir, dan efeknya tidak membuat tidur,” katanya pada Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M), di Hotel Novotel, Semarang, Selasa (3/9/2024).
- Paus Fransiskus Tiba di Indonesia untuk Mulai Kunjungan Resmi
- Segera Daftar, Kemenag Sediakan 20.772 Lowongan Pendaftaran CPNS 2024
- Harga Bawang Merah dan Daging Ayam Ras Turun, Jateng Alami Deflasi 0,07 Persen di Bulan Agustus
- Proyek Pembangunan Kedubes India di Indonesia Senilai Rp334 Miliar Dihentikan
- Tim Polo Air Putri Jabar Raih Emas PON XXI 2024 Setelah Kandaskan DKI Jakarta
Diky mengisahkan, saat menjadi penyintas TBC RO pada 2014 lalu, mesti menjalani pengobatan selama dua tahun, karena kebal terhadap sejumlah obat TBC, obat yang dikonsumsinya sekali minum mencapai 26 butir, ditambah dengan obat suntik.
“Obatnya bisa semangkuk sekali minum. Waktu itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalankan karena tujuannya untuk kesembuhan. Habis minum obat, saya kelenger tidur, tidak bisa ngapa-ngapain,” ujarnya.
Efek pengobatan dulu banyak, ada yang sampai gila, bahkan ada yang mau bunuh diri karena merasa putus asa dengan penyakitnya.
Berkat kemajuan teknologi kesehatan, sekarang penderita TBC RO bisa mendapatkan pengobatan dengan jangka waktu lebih singkat, yakni enam bulan. Obat yang diminum juga lebih sedikit, hanya kisaran enam butir, dan efeknya tidak membuat tidur.
“Sekarang habis minum obat, bisa beraktivitas. Jadi jangan takut ketika divonis TBC RO. Meski sakit, tapi ada obatnya. Ini kemajuan baru, harapan baru pada penderita TBC RO,” tandas Diky.
Kendati begitu, Diky berharap agar masyarakat memberikan dukungan kepada penderita TBC, untuk berobat hingga sembuh, mengingat TBC mudah menular, dan mengakibatkan kematian.
“Jangan lagi mengucilkan atau mendiskriminasi penderita TBC, tapi agar memberikan dukungan untuk kesembuhan,” harapnya.
Associate Director Yayasan KNCV Indonesia, dr Yeremia PM Runtu dalam kesempatan sama, mengajak seluruh pihak untuk menyosialisasikan pengobatan baru untuk penderita TBC RO agar tetap memiliki semangat dalam menjali kehidupan.
- 1.300 Peserta Semarakkan Bali Annual Telkom International Conference
- Kreatif, Siswa SMP IT Izzatul Islam Ubah Ban Mobil Bekas Jadi Kerajinan Menarik
- Mahasiswa UMY Melihat Langsung Dunia Kerja di Telkom Semarang
Menurut Yeremia, pengobatan baru BPaL/M, membuat penderitanya lebih nyaman, karena durasinya hanya enam bulan. Dan sebanyak 80-90 persen penderita TBC RO bisa diobati dengan cara itu.
"Kemajuan pengobatan baru untuk TBC resisten obat, bisa dinikmati juga di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang,” katanya.
TBC RO hanya ditemui pada penderita yang putus pengobatan karena ketidakpatuhan meminum obat, atau pada mereka yang pernah dinyatakan sembuh tapi kemudian kambuh, sehingga mereka resisten atau kebal terhadap obat.
Namun kini, sudah ada penderita TBC RO yang primer, artinya dulu tidak pernah sakit TBC, tapi begitu terkena TBC langung menjadi resisten obat.
“Jadi tuberkulosis bukan hanya isu kesehatan, tapi juga isu sosial ekonomi. Jadi dampaknya ke mana-mana TBC ini. Maka, kita harus cegah, dengan temukan penderitanya, obati sampai sembuh,” ujarnya. (-)