Cukup Bayar Rp5.000 untuk Nikmati Legitnya Bubur Serabi Tradisional Semarang Buatan Ponirah
Semarang, Jatengaja.com - Gurih, manis, dan legit. Itulah sensasi rasa saat Jatengaja.com mencoba bubur serabi, makanan tradisional khas Kota Semarang, Jawa Tengah yang dijual Ponirah, 57.
Dalam satu porsi bubur serabi terdapat serabi kecil, bubur sumsum, dan bubur candil, serta disiram dengan santan dan kinca olahan dari gula jawa.
Ponirah merupakan salah satu penjual bubur serabi yang sampai sekarang masih bertahan. Wanita paruh baya itu berjualan di area Taman Sampangan.
- Perupa Farhan Siki Raih penghargaan UOB Painting of the Year Indonesia 2022
- Jaga Pasokan Gas Bumi, PGN - PIS Sinergi Pemanfaatan Transportasi Penyalura LNG
- Going Global, PGN Subholding Gas Pertamina Masuk Bisnis Suplai dan Infrastruktur LNG di Bangladesh
- Daftar 68 Perusahaan Terbaik Peraih Penghargaan TrenAsia ESG Awards 2022
- Gangguan Ginjal Anak, Kementerian Kesehatan Minta Nakes Tak Berikan Resep Obat Cair Atau Sirup
Dalan berjualan Ponirah menggunakan gendongan bambu khas penjaja bubur serabi. Tempat untuk meletakkan santan dan kinca masih menggunakan kendil.
Penyajiannya menggunakan daun pisang dengan dipincuk. Untuk menikmati bubur serabi tidak mahal cukup merogoh kocek Rp5.000.
“Saya berdagang bubur serabi sejak tahun 1995. Sejak belum punya anak sampai sekarang sudah punya dua cucu,” ujar Ponirah, Kamis (20/10).
Menjadi penjaja bubur serabi dilakoni Ponirah karena dulu keluarganya yakni ibunya berjualan bubur serabi sejak tahun 1987. Namun pada 2008 lalu, ibunya telah wafat.
Berbekal resep dari mendiang sang ibu, Ponirah masih melanjutkan bisnis bubur serabi hingga saat ini. Ia mengaku tak ada satupun bahan maupun takaran yang diubah dari resep lawas itu.
"Ini resep masih asli milik ibu saya, kalau mau merasakan bagaimana bubur serabi jaman dulu yang dibuat ibu saya ya seperti ini,” jelasnya.
Selain dari keluarga, lingkungan tempat tinggal Ponirah juga dipenuhi pedagang serabi. Tepatnya berada di Kampung Kalicari Tengah, Semarang Timur.
Ada sekira 10 wanita paruh baya yang berkeliling di Semarang untuk menjajakan bubur serabi. Mereka memiliki lokasi berjualannya masing-masing dan jauh dari tempat tinggal.
“Dulu ada lebih banyak, tapi generasi muda nggak ada yang meneruskan. Jadi jumlahnya sudah semakin sedikit,” ungkapnya.
Sebelum menetap di Taman Sampangan, Ponirah telah berjualan di beberapa tempat. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki.
“Dulu pertama di Krobokan Karangayu, di Lamongan, Randusari, Tumpang dan Sampangan. Saya dulu tidak duduk berhenti seperti ini, tapi juga keliling. Tapi karena sudah tua jadi disini sekarang,” katanya.
Saban hari Ponirah berjualan mulai pukul 15.00 WIB hingga 18.00 WIB. Berjualan makanan bubur serabi tidak bisa berlangsung dalam waktu yang lama sebab seluruh adonan menggunakan bahan dasar santan.
"Kalau santannya sudah basi kan tidak bisa dijual lagi. Habis tidak habis ya jam segitu sudah pulang,” katanya.
Meski tidak mudah untuk berjualan jajanan tradisional di tengah menjamurnya kuliner modern, Ponirah tetap optimis bisa bertahan karena masih ada pangsa sendiri.
- Telkom Kembali Raih Penghargaan Internasional Golden Award
- Varra Nadia, Siswi SMPIT Izzatul Islam Juara 1 MTQ Tingkat Kabupaten Semarang
- Solusi Bangun Indonesia Gandeng UGM Buat Program Dekarbonisasi dengan Mikroalga
Ponirah saat sudah memiliki pangsa pasarnya sendiri di wilayah Sampangan. Pembelinya ada yang perseorangan bahkan ada juga yang memesan dalam jumlah banyak.
"Alhamdulillah sekarang sudah banyak yang tahu kalau saya berjualan disini. Mereka kebanyakan pelanggan-pelanggan yang dulu sering beli sewaktu saya masih berjualan keliling jalan kaki,” ujarnya.
Ponirah menyayangkan hingga saat ini belum ada generasi penerus untuk berjualan bubur serabi. “Selama saya masih mampu tetap akan berjualan bubur serabi,” katanya. (-)
Penulis : Dickri T.Badi