Setoran Pajak Tujuh Industri Penikmat Harga Gas Bumi Tertentu Terjun Bebas

Senin, 15 November 2021 17:29 WIB

Penulis:Sulistya

Editor:Sulistya

Petugas PGN tengah melakukan pengecekan rutin Gas Engine di Plaza Indonesia. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

undefined

Jakarta , Jatengaja.com - Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang ditetapkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sejak tahun 2020 terbukti menggerogoti keuangan negara. Hal itu terungkap dari surat Menteri Keuangan kepada Menteri ESDM bernomor S-846/MK.02/2021 yang diteken Sri Mulyani Indrawati pada tanggal 20 September 2021.

Berdasarkan hasil reviu Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tujuh sektor industri penerima manfaat HGBT justru mengalami penurunan setoran pajak. Total PPh yang dibayarkan oleh 7 industri sebagaimana tercantum dalam beleid Menteri ESDM, hanya sebesar Rp3,55 triliun atau minus 39% dibandingkan dengan tahun 2020. Sementara setoran PPh Badan tahun 2020 turun lebih dalam lagi yaitu sebesar 72,5% menjadi Rp 1,41 triliun.

Dokumen yang sama mengungkapkan bahwa selama periode Januari-Juni 2021 setoran PPh 7 sektor industri penerima HGBT juga tetap rendah. Yaitu sekitar Rp2,14 triliun atau hanya 37,8% dari total setoran PPh pada tahun 2020.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, terdapat 7 industri yang berhak menerima gas USD6 per MMBTU. Tujuh golongan industri tersebut meliputi pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 yang dirilis pada 6 April 2020 oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif itu merupakan pelaksanaan dari Peraturan Presiden (Perpres) No 40 tahun 2016 jo Perpres no 121 tahun 2020 tentang Harga Gas Bumi.

Dalam suratnya, Menkeu juga mengungkapkan bahwa selama periode pelaksanaan HGBT tahun 2020 saja, pemerintah telah kehilangan pendapatan hingga senilai Rp 4,3 triliun. Apabila kebijakan ini tetap dilanjutkan, Kemenkeu memperkirakan potensi pendapatan negara yang hilang akan mencapai sekitar Rp38,9 triliun selama periode 2021-2024. 

Untung Besar

Berbanding terbalik dengan kantong negara yang kempes, sejumlah perusahaan swasta yang menikmati kebijakan harga gas US$6 justru menangguk untung besar. Salah satunya produsen keramik PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA). 

Sampai kuartal III-2021. ARNA mencetak penjualan bersih Rp1,88 triliun atau naik 16,1% daripada periode sama tahun 2020 sebesar Rp1,61 triliun. Alhasil, laba bersih ARNA naik 56,85% menjadi Rp 374,44 miliar.

Chief Finansial Officer ARNA Rudy Sujanto mengatakan net profit yang tumbuh tinggi tersebut ditopang oleh penurunan beban pokok penjualan 5%. Tahun ini ARNA menaikkan target laba bersihnya dari semula Rp 422 miliar menjadi Rp460 miliar.

Berkat kinerja keuangan yang mentereng itu, harga saham ARNA di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga terus menguat. Sejak kebijakan harga gas US$6 diteken Menteri ESDM pada April 2020, lonjakan harga saham ARNA terus terjadi.

Mengutip data perdagangan saham di BEI, pada pertengahan April 2020, harga saham ARNA tercatat seharga Rp 384 per saham (15/4/2020). Sementara pada penutupan perdagangan Jumat (12/11), saham ini dibandrol seharga Rp 860 per saham.  Sehingga sejak harga gas makin murah, saham ARNA sudah melonjak hingga 123%.

Mengingat potensi penerimaan negara yang hilang terus membesar, menteri keuangan telah meminta Menteri ESDM untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan harga gas tertentu.

"Perlu dilakukan penelitian dan perhitungan kembali alokasi gas bumi harga tertentu kepada masing-masing perusahaan untuk meminimalkan terjadinya unutilized volume," tulis Sri Mulyani dalam suratnya itu.

Pada 2020, terdapat unutilized volume gas harga tertentu mencapai 25,2%. Jika tidak dilakukan komersialisasi kepada pembeli gas bumi maka akan berdampak terhadap pencapaian lifting gas bumi, sehingga penerimaan negara makin kempes.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 15 Nov 2021