Senin, 07 Maret 2022 19:05 WIB
Penulis:SetyoNt
Editor:SetyoNt
Jatengaja.com - Peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 adalah peristiwa kolektif yang melibatkan serta koordinasi dengan banyak orang. Bukan peristiwa yang dari satu orang satu orang.
Sebab ada sinergitas dari pemimpin rakyat dan melibatkan strategi yang sangat kompleks sehingga semua unsur-unsur berperan serta berjalan dengan baik dalam SU 1 Maret 1949.
Demikian disampaikan dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja, Sri Margana dalam webinar bertema 'Memahami Keppres No.2 Tahun 2022 tentang ; Hari Penegakan Kedaulatan Negara' yang diselenggarakan oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Senin (7/3/2022).
Sri Margana menegaskan, bahwa peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 adalah peristiwa kolektif yang melibatkan serta koordinasi dengan banyak orang, bukan satu dua orang aja.
"SU 1 Maret bukanlah satu peristiwa tunggal. Tetapi merupakan respon atas serangkaian peristiwa penting yang terjadi setelah proklamasi hingga Desember 1949," katanya.
Selama periode itu, lanjut dosen Sejarah UGM Jogja, berbagai peristiwa yang terjadi seperti pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke DI Yogyakarta, kemudian berbagai perundingan hingga pendirian pemerintah darurat di Bukittinggi adalah sebagai upaya penegakan kedaulatan negara.
SU I Maret 1949 yang dalam terjadi dalam kondisi tidak biasa dan darurat, merupakan sebuah operasi rahasia serta segala daya serta upaya berbagai tokoh bangsa menunjukkan eksistensi Indonesia yang merdeka berdaulat di mata dunia.
Peristiwa heroik tersebut melibatkan banyak pejuang dari berbagai kalangan yang bahu membahu membuktikan eksistensi Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di hadapan dunia.
"Munculnya beberapa nama yang terlibat dan berperan aktif dalam SU 1 Maret ini berasal dari kajian akademis ihwal yang kami lakukan sejak awal 2018 atas permintaan Dinas Kebudayaan DIY," jelas dosen Sejarah UGM Jogja ini.
Menurut Margana, gagasan melancarkan serangan besar-besaran di Yogyakarta muncul setelah Sultan Hamengku Buwono IX mendengar siaran tentang masalah Indonesia akan dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Maret 1949. Sementara itu, Belanda terus mempropagandakan di PBB bahwa Indonesia sudah bubar.
“Ide itu lalu disampaikan ke Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sebagai Panglima mengerahkan pasukan menyetujui ide tersebut,” katanya.
Ada pula Komandan Divisi II, Kolonel Gatot Subroto, berperan mencegah pasukan Belanda dari Solo dan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel TB Simatupang, mengonsepkan berita ke luar negeri dan mengumpulkan intelijen untuk menyebarkan informasi.
Kemudian ada Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel, berjuang di garis depan bertempur dengan Belanda di Benteng Vredeburg. Mayor Soekasno berperan mencegah kedatangan bantuan pasukan NICA dari Magelang, dan Mayor Soedjono yang menduduki Bandara Maguwo guna memastikan Belanda tidak menggunakan pesawat untuk menggempur para pejuang di Yogyakarta.
"Belum lagi personel kepolisian dan laskar-laskar rakyat yang juga turut berperan dalam serangan itu. mereka semua berada dalam satu organisasi dan satu gerakan. Jika satu tidak berfungsi, maka serangan akan gagal," jelasnya.
Dengan demikian, lanjutnya, dipastikan bahwa SU 1 Maret 1949 bukanlah peristiwa yang dari satu orang satu orang. Ada sinergi dari pemimpin rakyat dan melibatkan strategi yang sangat kompleks sehingga semua unsur-unsur berperan serta berjalan dengan baik.
Terkait dengan adanya protes sejumlah pihak, dosen Sejarah UGM Jogja ini mengatakan dalam naskah akademik nama Soeharto sudah disebutkan sebanyak 48 kali. Mengenai ketidakmunculan di Keppres, Margana mengatakan bahwa tidak mungkin menyebutkan ribuan nama dari berbagai unsur. Hanya nama pemimpin tertinggi yang dicantumkan.
Sementara itu, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan sosialisasi yang dihadiri lebih dari 1.600 orang ini sebagai upaya pemerintah untuk menjaga agar tidak terjadi miskomunikasi di ruang publik.
"Kita desain terbuka kepada publik untuk mengungkap hal sebenarnya. Dari sini kita ketahui, bahwa hal yang membesarkan dan menguatkan hati sebagai anak bangsa, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 tidak mudah. Banyak cobaan dan tantangan," katanya.
Adapun, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan dengan disahkannya 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Maka ini menjadi momen historis bagi Pemda DIY dan warganya.
"Dalam konteks masa kita saya berpendapat, bahwa nilai kejuangan yang lahir dalam suasana perjuangan. Perlu terus menerus dipelihara sebagai sumber kekuatan bangsa dalam menjaga persatuan serta pembangunan," katanya. (-)
Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Setyono pada 07 Mar 2022
Bagikan