Rabu, 27 November 2024 18:21 WIB
Penulis:Sulistya
Editor:Sulistya
Jakarta, Jatengaja.com – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan memastikan, Presiden Prabowo Subianto akan menunda kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025.
Sebelumnya, gelombang protes terhadap rencana Kementerian Keuangan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% banyak disuarakan.
Di tengah daya heli masyarakat yang melemah, Luhut mengatakan pemerintah akan terlebih dahulu memberikan subsidi listrik. Stimulus itu akan diberikan untuk mengerek perekonomian masyarakat.
"Jadi, ya hampir pasti diundur, biar dulu jalan tadi yang ini (subsidi listrik)," kata Luhut kepada media, Rabu 27 November 2024.
Lebih lanjut mengenai stimulus, Luhut menegasman pemerintah akan meramu 2-3 bulan insentif subsidi listrik tersebut. Bantalan tersebut dimaksudkan agar ketika pemerintah menaikkan PPN 12% ekonomi tidak jatuh.
Luhut menjelaskan, subsidi listrik tidak akan diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai, melainkan langsung diberikan ke biaya listrik setiap masyarakat tidak mampu.
"Ada hitungannya, tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti," terang Luhut.
Untuk diketahui, rencana kenaikan PPN diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang bertujuan memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah tertekan akibat pandemi COVID-19.
PPN merupakan salah satu tulang punggung penerimaan negara, bersanding dengan Pajak Penghasilan (PPh). Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), PPN tetap menjadi sumber pendapatan yang andal meski dalam situasi ekonomi yang melemah.
Dalam hal ini, kenaikan tarif menjadi solusi cepat untuk penguatan fiskal guna mengurangi ketergantungan pada utang. Dengan menaikkan tarif menjadi 12%, Indonesia mendekati rata-rata tarif PPN global yang berkisar 15%.
Kenaikan tarif PPN membawa potensi manfaat besar bagi perekonomian. Salah satunya adalah tersedianya anggaran yang lebih besar untuk membiayai layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Dengan basis penerimaan yang lebih kuat, pemerintah dapat memperluas program pembangunan yang berdampak langsung pada masyarakat.
Selain itu, kebijakan ini juga menjadi langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan fiskal negara dan menyeimbangkan pembiayaan antara utang dan penerimaan pajak.
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12% memang membawa sejumlah risiko yang perlu diantisipasi agar tidak memicu efek negatif berantai pada perekonomian. Berikut adalah beberapa pengembangan risiko yang mungkin muncul:
Kelas Menengah dan Rentan: kelas menengah cenderung menjadi pendorong utama konsumsi domestik. Kenaikan tarif PPN akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga mengurangi daya beli mereka. Hal ini dapat berdampak langsung pada pengurangan konsumsi, terutama barang sekunder dan tersier.
Masyarakat Rentan: kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah akan lebih terdampak, karena mereka sudah mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok. Kenaikan harga barang akan mendorong lebih banyak orang ke garis kemiskinan.
"Jadi jangan, PPN itu harus ditangguhkan. Minimal satu tahun ke depan. Atau kalau bisa dua tahun. Karena sekarang minimal daya belinya bisa kembali dulu, gitu," jelas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, di Jakarta, dikutip Senin, 18 November 2024.
Penurunan Permintaan: Kenaikan harga barang akibat PPN yang lebih tinggi dapat menurunkan permintaan. Hal ini akan memaksa pelaku usaha untuk mengurangi produksi guna menyesuaikan dengan turunnya konsumsi.
Efisiensi Biaya: Pelaku usaha mungkin mencari cara untuk memangkas biaya, termasuk melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pengurangan jam kerja karyawan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pengangguran.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM): UMKM berpotensi kehilangan pangsa pasar karena mereka sulit bersaing dengan produk impor yang terkadang lebih murah meski dikenakan PPN.
“Kalau (pengusaha) yang mengurangi ekspansi iya. Karena, pelemahan domestik itu, deflasi, jadi menahan investasi untuk ekspansi,” kata Roy.
Kurangnya Insentif untuk Formalisasi: Kenaikan PPN dapat mendorong usaha kecil dan individu untuk tetap berada di sektor informal guna menghindari beban pajak. Hal ini akan menyulitkan pemerintah dalam memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara.
Penghindaran Pajak: Dengan tarif PPN yang lebih tinggi, ada risiko bahwa pelaku usaha formal akan mencari cara untuk menghindari pembayaran pajak, seperti melalui pencatatan ganda atau tidak melaporkan transaksi.
Transportasi dan Logistik: Tarif PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi.
Perlambatan Ekonomi: Jika konsumsi terganggu, laju pertumbuhan ekonomi nasional dapat melambat. Dampaknya, daya tarik investasi juga bisa menurun.
Efisiensi Pajak yang Menurun: Dalam teori Kurva Laffer, peningkatan tarif pajak yang berlebihan dapat menurunkan aktivitas ekonomi formal. Akibatnya, basis pajak menyusut dan total penerimaan pajak justru berkurang, meskipun tarifnya meningkat.
Ketergantungan pada Konsumsi Domestik: Dengan 12% PPN, konsumen dapat beralih pada barang dan jasa yang tidak terkena pajak, termasuk barang digital lintas negara yang lebih sulit dipajaki.
Dampak di Daerah Miskin: Daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi akan lebih terdampak, karena kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang kebutuhan pokok yang menjadi konsumsi utama masyarakat. Hal ini dapat memperdalam ketimpangan antarwilayah.
Tingkat Kepercayaan Rendah: Jika masyarakat merasa kenaikan PPN tidak diimbangi dengan peningkatan layanan publik, hal ini dapat memicu ketidakpuasan yang berdampak pada stabilitas sosial dan politik.
Untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, kata Roy, pemerintah perlu mengambil langkah mitigasi yang tepat. Salah satunya adalah dengan memberikan subsidi atau insentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah agar tetap kompetitif dan produktif.
Selain itu, peningkatan lapangan kerja formal dengan upah layak menjadi prioritas guna mengurangi tingkat informalitas yang tinggi. Kenaikan tarif PPN juga perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik. Dengan demikian, masyarakat dapat merasakan timbal balik langsung dari kebijakan tersebut, sehingga mengurangi resistensi.
Alternatif lain seperti pajak kekayaan, pajak windfall profit, atau pajak karbon juga dapat dipertimbangkan untuk memperluas basis penerimaan negara tanpa terlalu membebani masyarakat.
Diakui Roy, kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan langkah penting untuk memperkuat ekonomi negara. Namun, kebijakan ini harus dilaksanakan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Dengan keseimbangan antara pengelolaan fiskal yang sehat dan kesejahteraan rakyat, Indonesia dapat menjadikan kebijakan ini sebagai peluang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
“Kita tinggal satu bulan lagi melangkah di tahun 2025 dengan tantangan yang tentunya pasti enggak akan selesai dan belum tentu selesai, tetapi di tengah tantangan biasanya ada peluang,” ujar Roy. (-)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ananda Astri Dianka pada 27 Nov 2024
Bagikan