Bupati Kudus dan Serikat Pekerja Bersatu Tolak PP 28/2024, Desak Moratorium Cukai Tembakau

Redaksi Daerah - Jumat, 30 Mei 2025 17:17 WIB
Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris menilai pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi sektor IHT

KUDUS – Gelombang penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat. Setelah sebelumnya berbagai Kementerian dan Anggota DPR RI menyampaikan usulan agar pasal-pasal tersebut ditinjau ulang, Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus dan serikat pekerja turut menyuarakan kekhawatiran atas dampak regulasi tersebut terhadap keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan nasib jutaan pekerja. Selain itu, mereka juga mendesak moratorium atas kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk menjaga keberlangsungan industri.

Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris menilai pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi sektor IHT, khususnya di daerah seperti Kudus yang sangat bergantung pada industri rokok. Ia menekankan pentingnya kajian mendalam dan komunikasi lintas sektor untuk mengantisipasi dampak negatif dari regulasi tersebut.

"Kalau menurut saya perlu ada kajian khusus. Di Kudus ini, (IHT) menyerap tenaga kerja yang banyak menguntungkan pekerja," ungkapnya dalam peringatan HUT Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) di lapangan Rendeng Kudus, Kamis (29/5/2025).

Sam’ani juga menyatakan bahwa pihaknya terus menjalin koordinasi dengan pemerintah pusat, pelaku industri, dan serikat pekerja untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin kemakmuran bersama.

Sebagai bagian dari upaya konkret meningkatkan kesejahteraan pekerja di sektor IHT, Pemerintah Kabupaten (Pembkab) Kudus menyiapkan skema bantuan sosial yang bersumber dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Ia menegaskan bahwa optimalisasi pemanfaatan DBHCHT dapat menjadi instrumen jangka panjang untuk memperkuat perlindungan sosial bagi buruh.

“Kalau DBHCHT yang diterima Kabupaten Kudus naik Rp1 triliun, maka pekerja bisa dapat bansos selama 12 bulan,” katanya.

Pernyataan tersebut mencerminkan visi strategis Pemkab Kudus dalam menjadikan DBHCHT tidak hanya sebagai sumber pendapatan daerah, tetapi juga sebagai fondasi kebijakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi para pekerja yang terdampak dinamika regulasi dan tekanan industri. Keberlangsungan lapangan pekerjaan juga dinilai sebagai pilar penting penggerak perekonomian daerah tersebut.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto bahkan menyarankan agar pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dibatalkan jika terbukti menghambat upaya penyelamatan industri padat karya. “Proses deregulasi PP 28/2024 menurut saya wajar perlu disempurnakan, kalau perlu dibatalkan," tegasnya.

Ia menyoroti sejumlah ketentuan dalam PP 28/2024 yang dinilai membatasi ruang gerak IHT, seperti pembatasan iklan dan penjualan rokok, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Menurutnya, kebijakan ini akan menghambat penyerapan produk tembakau petani dan memicu efisiensi tenaga kerja yang berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Penolakan serupa disuarakan oleh Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP RTMM PT Djarum Kudus, Ali Muslikin yang menilai pasal-pasal tembakau PP 28/2024 sebagai ancaman langsung terhadap kesejahteraan pekerja.

“Saya sebagai Ketua PUK RTMM PT Djarum Kudus sangat tidak setuju dengan (pasal-pasal tembakau dalam) PP 28/2024 karena ini dapat menyengsarakan pekerja rokok,” ungkapnya.

Ali menambahkan bahwa pembatasan yang diatur dalam PP 28/2024 dapat menurunkan penjualan dan memicu gelombang PHK. Ia juga mengungkapkan bahwa para buruh telah melakukan aksi unjuk rasa ke Kementerian Kesehatan sebagai bentuk penolakan terhadap regulasi ini pada bulan Oktober lalu. Pada puncak aksi unjuk rasa, perwakilan Kementerian Kesehatan berjanji akan melibatkan serikat pekerja dalam proses penyusunan dan diskusi sejumlah aturan turunan PP 28/2024, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi.

Moratorium Kenaikan Tarif CHT

Selain menolak PP 28/2024, para pemangku kepentingan juga mendesak pemerintah pusat untuk memberlakukan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Kenaikan yang terus-menerus dinilai menggerus daya saing industri dan memperbesar risiko PHK.

Bupati Kudus Sam’ani menyatakan dukungan penuh terhadap moratorium kenaikan CHT tersebut. “ Kami juga mendukung tidak ada kenaikan cukai (hasil tembakau),” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal yang semakin marak dan merugikan industri legal serta penerimaan negara.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto menilai bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak mendukung kenaikan cukai. Ia menyebutkan bahwa kenaikan tarif justru memperparah kondisi pekerja dan memperbesar risiko PHK. "Moratorium (kenaikan CHT) saya sangat setuju. Karena ekonomi sedang tidak baik-baik saja. PHK besar-besaran. Dampaknya ke pekerjanya ya penghasilan turun," serunya.

Senada dengan itu, Ketua PUK RTMM PT Djarum Kudus, Ali Muslikin juga menolak kenaikan tarif cukai tahunan. Ia menilai bahwa beban fiskal yang terus meningkat akan mempercepat penurunan produksi dan memperbesar ancaman PHK massal. "Harapannya kami di tahun ke depan tidak ada kenaikan tarif cukai," paparnya. Gelombang PHK tengah menjadi momok tenaga kerja menyusul rontoknya beberapa industri padat karya. Data resmi BPS menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia meningkat. Pada Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83 ribu orang dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Ali juga mengingatkan bahwa sektor IHT merupakan penyumbang besar bagi penerimaan negara. “Kami di IHT turut menyumbang Rp240 triliun setoran ke negara. Itu hampir 10 persen dari APBN. Kalau industri semakin dicekik dengan berbagai aturan, saya tidak tahu negara akan dapat pendapatan dari mana?” pungkasnya.

Editor: Redaksi Daerah
Bagikan

RELATED NEWS